A. Pengertian pendidikan gratis
Pendidikan gratis adalah sebuah kebijakan pemerintah yang dimana siswa tidak lagi dibebankan dengan bermacam-macam biaya mulai dari uang pangkal, uang sekolah, uang komite, dan buku penunjang utama. Sementara itu, untuk biaya-biaya lain, tidak ditanggung oleh pemda, misalnya, biaya transportasi, pakaian seragam, dan biaya-biaya lain (penambahan materi, darmawisata, dan sebagainya).Dengan kata lain, komponen biaya untuk memenuhi kebijakan ‘pendidikan gratis’ adalah berupa subsidi. Subsidi ini pun masih disertai sejumlah persyaratan, yaitu jika besaran dana bantuan yang diberikan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi lebih kecil dari biaya operasional sekolah, pemerintah kota dan siswa harus menutupi kekurangan dana tersebut.
Begitu juga, bila dana yang diberikan jumlahnya sama atau lebih besar, orang tua siswa dibebaskan dari iuran pendidikan.Itu berarti bahwa sumber pembiayaan dari program ‘pendidikan gratis’ ini dapat berasal dari pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan orang tua. Apalagi, masing-masing sekolah memiliki kebijakan berbeda menyangkut besaran iuran yang mesti ditanggung oleh sekolah dan orang tua.Kalaupun pemda memberikan subsidi iuran sekolah, tak terelakkan, masih ada orang tua di sekolah tertentu masih dibebani oleh sejumlah iuran sekolah.Sungguh ironis jika sampai dengan saat ini pendidikan masih belum mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa ini. Padahal sudah sejak lama pendidikan diperjuangkan oleh para the fonding fathers bangsa ini dengan mengorbankan cucuran airmata dan darah. Hal ini terjadi disebabkan kurangnya komitmen dan perhatian pemerintah dalam pelaksaaan pembangunan bidang pendidikan.Pemerintah seharusnya dengan sungguh–sungguh melaksanakan langkah strategisnya yang menitikberatkan pada 3 hal pokok yaitu : Pertama peningkatan pemerataan dan akses pendidikan seluas-luasnya. Kedua, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing untuk semua jenjang pendidikan. Ketiga, peningkatan tata kelola,akuntabilitas dan pencitraan publik dalam bidang pendidikan. Hingga saat ini nampaknya kebijakan pendidikan nasional belum mengarah ke sana. Pemerintah juga seharusnya menjauhkan kebijakan pendidikan dari kepentingan pragmatis atau kepentingan politis.Seringkali pendidikan hanya dijadikan barang jualan politik selama masa kampanye.Misalnya isu pendidikan gratis adalah salah satunya.
Sekarang banyak wacana menarik yang berkembang di masyarakat, salah satunya,Pendidikan Gratis. Program ini merupakan program unggulan (atau lebih tepat dikatakan program janji kampanye) dari para calon Gubernur yang ingin dipilih yaitu, semua sekolah negeri (kecuali yang memakai Standar International)dan beberapa sekolah swasta diminta untuk bersama-sama menyukseskan program ini.Namun, program yang di sambut suka cita sama masyarakat menengah kebawah, ternyata tidak disambut baik oleh kalangan pendidik. Guru khususnya. Program ini konon kabarnya hanya akan menurunkan kesejahteraan guru.Dari sini timbullah pro kontra terhadap program ini. Kalangan masyarakat menengah bawah, jelas menyambut janji Gubernur terpilih untuk merealkan pendidikan gratis ini, dimana semua biaya yang menyangkut pendidikan GRATIS.Mulai dari SPP, biaya ujian, uang buku, dan semua biaya lainnya. Sekolah dilarang keras untuk memungut biaya!!! Bahkan baju olahraga pun menjadi tidak wajib lagi dikenakan oleh siswa, jika siswa mampu dan mau, bisa membeli baju tersebut, dan sebaliknya jika tidak mampu, tidak ada paksaan, toh masih ada baju sehari-hari.Berbeda dengan masyarakat menengah bawah, kalangan pendidik jelas keberatan dengan adanya program ini, kesejahteraan guru mulai menurun, tidak ada uang tambahan lagi yang bisa didapatkan oleh guru, misal tambahan dari les-les, persenan dari hasil menjual LKS(Lembar Kerja Siswa) atau buku panduan.Menurut pribadi penulis, tidak ada yang salah dengan program pemerintah ini, toh sudah ada beberapa Negara yang mensubsidi pendidikan masyarakatnya, sehingga biaya hidup masyarakatpun berkurang. Dan hasilnya, tidak diragukan, apalagi SDM tetap berkualitas.Asal program ini didukung sepenuhnya dari berbagai pihak.Percuma pemerintah punya program seperti ini, jika ada beberapa kalangan yang tidak mendukung penuh.Hanya saja mungkin tehnis yang masih perlu dibenahi.Penyakit masyarakat kita dalam masalah mutu adalah, semakin murah bahkan gratisnya sebuah pelayanan, maka mutunya semakin menurun, hal ini yang kurang diperhitungkan oleh pemerintah. Sekolah jelas tiap bulan harus membayar gaji guru dan karyawan, mengeluarkan biaya operasional sekolah seperti listrik, air, telepon, internet dan tentu biayanya tidak sedikit, lalu pihak sekolah darimana mendapatkan biaya tersebut, jika kompensasi dari pendidikan gratis dibayarkan pertriwulan. Lalu kalau kondisi seperti ini, mengakibatkan guru (walau tidak semua,tapi tidak bisa dipungkiri, hampir semua orang jelas money oriented, ditambah kebutuhan hidup yang kian hari kian mencekik, guru juga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga kadang menjadi ogah-ogahan untuk mengajar, hal ini tentu saja mengakibatkan anak didik menurun dari segi kualitas.Mungkin kalau semua guru di negeri ini seperti Ibu Mus dalam Buku Laskar Pelangi, Program pemerintah ini akan menjadi lebih mudah terealisasi tanpa ada pro dan kontra, kualitas tidak perlu diragukan, dan guru pun dengan suka cita mengajarkan semua hal yang baru kepada anak didik, karena mengajar merupakan separuh nafasnya. Apalagi jelas kondisi yang ditawarkan pemerintah jauh lebih baik dari sekolah para Laskar pelangi.Tidak ada alasan mendasar memang untuk menolak itikad baik pemerintah ini, hanya saja banyak yang perlu di tinjau ulang, Pemerintah meninjau hal tehnis, dan para pendidik pun meninjau kedalam hati mereka, jangan sampai imbas dari pendidikan Gratis ini membuat kualitas pendidikan semakin terpuruk, lalu mau jadi apa generasi kita yang akan datang?Yang menjadi masalah selama ini, mutu pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari harapan banyak pihak.Ini dibuktikan bahwa bangsa Indonesia masih belum mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain dibanyak bidang sehingga tertinggal bahkan dari bangsa-bangsa tetangga di kawasan Asia-Tenggara. Disampimg itu sasaran pendidikan di Indonesia saat ini juga makin tidak jelas, ingin menghasilkan manusia Indonesia yang seperti apa? Apakah ingin menghasilkan manusia Indonesia dengan prestasi akademis yang tinggi atau ingin menghasilkan manusia Indonesia yang siap masuk ke bursa kerja atau ingin menghasilkan manusiaIndonesia yang punya moral terpuji?Idealnya memang ketiga-tiganya menjadi sasaran: disamping menghasilkan manusia Indonesia yang punya prestasi akademis yang tinggi, siap masuk bursa kerja dan punya moral yang terpuji. Sayangnya dari ketiga-tiganya tersebut di atas secara umum sasaran pendidikan di Indonesia tidak ada satupun yang tercapai.
a) Landasan konstitusional
Dalam Pembukaan UUD Negara RI tahun 1945 alinea ke-4 dinyatakan bahwa pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pernyataan itu menyiratkan adanya kesadaran yang tinggi dari para founding father kita bahwa pendidikan adalah elemen terpenting dalam upaya mewujudkan kesejahteraan bangsa. Pernyataan itu kemudian diperkuat dalam Batang Tubuh UUD RI tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan Pasal 31 ayat (2) Semua warga negara wajib memperoleh pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya .Kemudian, dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 34 ayat 2 dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Jika mengacu pada Pasal 31 ayat (1) UUD Negara RI 1945 di atas, pendidikan adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap warga negara. Pihak mana pun tidak berhak untuk mengecualikan orang lain untuk mendapatkan pendidikan. Bahkan,adakewajiban bagi pemerintah untuk membiayainyaDengan kata lain, pemerintah, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, sampai pemerintah kabupaten dan kota, harus menjamin penyelenggaraan pendidikan tanpa memungut biaya (Pasal 34 ayat 2 UU tentang Sisdiknas). Ini bisa berarti, biaya-biaya terkait dengan penyelenggaraan pendidikan ditanggung oleh negara.Akan tetapi, jika mengacu kepada Pasal 9 dan 34 UU tentang Sisdiknas, redaksi Pasal 31 UUD Negara RI 1945 menjadi tereduksi. Dalam kedua pasal tersebut dinyatakan bahwa masyarakat mempunyai kewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan (Pasal 9) dan memiliki tanggung jawab menyelenggarakan program Wajib Belajar (Pasal 34).Jelas, bahwa memang terjadi conflicting atau jika lebih eufimistik, ‘pemerintah masih ragu-ragu’ untuk mengambil alih seluruh tanggung jawab dan kewajibannya menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negaranya.Dalam ilmu ekonomi, penggunaan istilah gratis bisa disamakan dengan public good , yaitu sebuah barang atau produk yang tidak akan berkurang meskipun dikonsumsi oleh seorang individu. Individu lain juga berhak atas barang tersebut tanpa boleh pihak lain menolaknya. Secara sederhana, public good berarti tidak ada pengecualian dan tidak ada rival (persaingan). Contoh, jika seseorang menghirup udara atau minum air di telaga, tidak akan mengurangi secara signifikan jumlah air yang tersedia untuk orang lain. Dalam hal ini, ilmu ekonomi menyebut udara dan air itu sebagai benda atau barang bebas, yaitu benda atau barang yang diperoleh tanpa pengorbanan.Pada titik ekstrem, lawan dari public good adalah private good , yaitu barang atau benda yang untuk memperolehnya memerlukan pengorbanan dan persaingan. Hanya kalangan tertentu yang bisa memilikinya.Dari dua kategori di atas, di manakah sepatutnya posisi pendidikan ditempatkan?
Jika mengacu kepada landasan konstitusional dan yuridis di atas, di mana negara punya kewajiban untuk membiayai pendidikan (non- rivalness ), memberikan akses seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara berhak untuk mendapatkannya (non- excludable ). Serta, masyarakat tidak memerlukan pengorbanan untuk mendapatkannya maka pendidikan adalah public good .Pendidikan adalah benda bebas yang bisa dimiliki oleh setiap warga negara.Dalam framework ini, terma pendidikan gratis mungkin menemukan relevansi. Akan tetapi, jika dalam penyelenggaraan pendidikan, publik masih harus mengeluarkan biaya lain di luar biaya yang ditanggung pemerintah, misalnya, biaya baju seragam, transportasi, biaya darmawisata, buku-buku di luar yang didanai BOS Buku, dan sebagainya, ada unsur rivalness (hanya mereka yang bisa membeli baju seragam, transportasi, dan buku-buku penunjang, serta mampu membayar biaya-biaya lainnya yang bisa bersekolah). Bahkan, untuk sekolah-sekolah tertentu, seperti sekolah-sekolah elite yang hanya dimasuki oleh kalangan tertentu, posisi pendidikan menjadi private good yang meng- exclude pihak lain yang tak mampu dan menimbulkan rivalitas antara si kaya dan si miskin.
Terlepas dari adanya conflicting antara amanat dalam konstitusi dan UU tentang Sisdiknas, serta mengacu pada kondisi ideal seperti yang diharapkan dalam konstitusi kita bahwa pendidikan seharusnya diposisikan sebagai public good , serta membaca realitas bahwa pendidikan tidaklah murni public good maka format yang lebih tepat adalah model public private partnership . Dalam model ini, peran dan fungsi negara dalam bidang pendidikan adalah intermediate function , yaitu suatu peran pemerintah di mana pemerintah tidak sepenuhnya menanggung biaya untuk sektor pendidikan, tetapi wajib menanggung semua biayauntuk level pendidikan dasar.Dengan demikian, jika pemerintah benar-benar melaksanakan komitmennya untuk membiayai seluruhnya penyelenggaraan pendidikan untuk jenjang pendidikan dasar, terma ‘pendidikan gratis’ patut untuk disematkan.Ini juga terkait dengan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang dicanangkan pemerintah.Akan tetapi, di kutub yang lain, ketika pemerintah hanya sanggup membiayai sekolah negeri, bukan sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat, di sinilah model public private partnership menemukan relevansinya.
b). Mengapa harus gratis
Jika kita masih mempertanyakan mengapa biaya pendidikan harus gratis maka sebaiknya kita kembali ke tahun 1945 ketika kita memproklamirkan diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka yang bercita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya. Bagaimana mungkin kita akan dapat mencerdaskan bangsa ini jika untuk mendapatkan pendidikan dasar saja warga negaranya kesulitan karena pendidikan yang dikelola oleh pemerintah mahal harganya? Apa gunanya kita merdeka jika ternyata pendidikan dasar dengan kualitas buruk pun harus kita peroleh dengan biaya mahal? Mana berkah kemerdekaan yang kita cita-citakan sejak setengah abad yang lalu tersebut?Apakah kita harus menunggu hingga satu abad baru cita-cita kemerdekaan tersebut bisa kita peroleh?Cobalah tengok negara-negara maju atau negara-negara tetangga. Tanpa gembar-gembor :”Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.” “Prioritas utama pemerintahan kita adalah peningkatan kualitas SDM!”, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, “Menuntut Ilmu adalah kewajiban sejak dalam buaian sampai liang kubur”, “Hanya dengan SDM yang berkualitas kita dapat membangun negeri ini,” dan berbagai jargon-jargon politik lain, mereka secara otomatis sejak semula sudah menggratiskan biaya pendidikan bagi warga negaranya. Di Sabah tetangga dekat kita saja sejak bayi lahir disana, entah warga negara atau bukan, sudah berhak untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan gratis.Apalagi di negara-negara maju macam Jerman, Inggris, Belanda, Australia, dll.Bahkan warganegara asingpun jika tinggal disana juga berhak mendapatkan pendidikan gratis.Bukan hanya pendidikan dasar tapi bahkan sampai perguruan tinggi. Nah! Apakah pemerintah masih mau mengelak lagi dari kewajibannya memberikan biaya pendidikan dasar bagi warganegara kita sendiri?Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa.Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Di dalamnya terdapat kewajiban yang harus dilakukan pemerintah termasuk masalah biaya. Kewajiban pemerintah yang menyediakan biaya pendidikan dasar tertuang dalam amanat UUD 1945 pada pasal 31 ayat 2 yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”
Pasal 11 ayat 2 UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 berbunyi “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun”Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 berbunyi “Pemerintah dan pemerintah derah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.Berdasarkan undang-undang tersebut seharusnya pemerintah mempunyai komitmen yang tinggi untuk melaksanakannya. Karena selain tuntutan dari undang-undang, pendidikan juga dapat meningkatkan kesejahteraan warganya.Di era otonomi daerah, apalagi menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada), seringkali pendidikan dijadikan alat kampenye dari para calon kepala daerah. Dari “pendidikan gratis”, “pemerataan pendidikan”, “pendidikan yang berkualitas”, “pendidikan yang cerdas dan berkualitas” dan lain-lain jika mereka terpilih kelak. Kalau kita lihat dari pengalaman, banyak program-program yang ditawarkan pada saat kampanye belum ataupun tidak dilaksanakan.Jangan sampai pendidikan dijadikan alat komoditas politik hanya untuk mengumpulkan suara, tanpa menjadikannya suatu kenyataan sesuai janji-janji mereka.Kita lihat saja nanti.
c). Mencermati Pendidikan Gratis
Peribahasa Jawa “Jer basuki mawa bea” rasanya tak salah jika direnungkan kembali, apalagi jika dikaitkan dengan pendidikan gratis, yang selalu saja menjadi modal utama dalam dunia politik. Pendidikan merupakan harga mati dalam sebuah kehidupan karena pendidikan adalah hak asasi manusia seperti yang tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights. Untuk membangun masyarakat madani diperlukan manusia yang cerdas dan kompeten. Di samping itu, era global yang ditandai dengan lahirnya masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society) menuntut penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Keempat aspek tersebut dapat diperoleh melalui proses pendidikan, dan pendidikan sendiri akan berjalan dengan baik jika didukung oleh berbagai pihak terkait pemerintah, baik pusat maupun daerah, orang tua, dan masyarakat.
Untuk membangun berdirinya pendidikan yang kokoh, Indonesia sudah lebih dari 15 tahun menanamkan fondasi pendidikan dasar dengan mencanangkan program wajib belajar mulai dari 6 tahun hingga diperluas menjadi 9 tahun. Meskipun demikian, masih saja belum jelas apakah Indonesia mampu melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal education yang artinya pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua wilayah, mengingat status wilayah pandangan hidup sebagian besar rakyat Indonesia tentang pendidikan. Dua konsep tersebut berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yakni Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand tahun 1990 yang menegaskan bahwa compulsory education bukan universal education. Wajib belajar berimplikasi terhadap pembebasan biaya sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk menyukeskan pendidikan dasar sembilan tahun sedangkan universal education berimplikasi pada ketersediaan tempat belajar.Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sebelum menjanjikan pendidikan gratis apakah para calon pimpinan daerah sudah menghitung biaya satuan? Pertanyaan kedua, jika ternyata biaya satuan di tingkat sekolah lebih besar daripada dana BOS, siapa yang akan menutup kekurangan tersebut? Kebijakan pendidikan gratis jelas tidak membebankan kekurangan biaya pendidikan kepada orang tua. Alternatifnya hanya dua, yaitu dipenuhi oleh pemerintah daerah atau dibiarkan tanpa satu pihak pun menutupnya. Mau atau tidak pemda yang akan menutup kekurangan biaya di sekolah seperti yang telah dinyatakan dengan jelas dalam aturan BOS bahwa pemerintah daerah wajib memenuhi kekurangan biaya operasional sekolah dari APBD yang ada. Ini berarti, diperlukan alokasi APBD yang cukup besar, sesuai dengan jumlah murid yang harus menempuh pendidikan dasar.Sebagai gambaran, jika selisih antara biaya satuan dan BOS adalah Rp 15.000 dan di suatu kabupaten terdapat 200.000 murid SD, diperlukan tambahan APBD senilai Rp 3 miliar untuk tingkat SD, belum lagi ditambah untuk tingkat SMP. Semakin besar selisih antara BOS dan biaya satuan, dan semakin besar jumlah murid di suatu daerah akan semakin besar alokasi APBD yang diperlukan. Jika APBD daerah tersebut tidak dapat menutup kekurangan BOS, siapa yang harus bertanggung jawab sementara kebijakan pendidikan gratis harus konsisten dilaksanakan? Apabila hal tersebut tetap dilaksanakan, kemungkinan terbesar yang terjadi adalah penyelenggaraan pendidikan tidak sesuai dengan standar.Beberapa fakta tentang BOS menunjukkan sebagai berikut. Pertama, pemda menganggap BOS tidak cukup, sehingga mengalokasikan dana APBD dalam jumlah cukup besar sebagai "pendamping BOS", untuk bisa menggratiskan pendidikan. Sebagai ilustrasi, kota Bekasi mengalokasikan APBD 2008 cukup besar untuk pendamping BOS, sekitar Rp 30.000 per siswa per bulan untuk SD plus biaya operasional sekolah lainnya sebesar Rp 21.500, dengan total dana yang dialokasikan untuk pos ini adalah Rp 61,5 miliar (Republika, 3 Januari 2008). Ini merupakan kondisi yang mendekati ideal, keperluan operasional sekolah terpenuhi dengan baik dan masyarakat dapat menikmati pelayanan pendidikan tanpa harus membayar.
Kedua, pemda menganggap BOS tidak cukup sehingga pemda tidak mengalokasikan atau mengalokasikan APBD dalam jumlah kecil, tetapi masih memperbolehkan sekolah menarik dana partisipasi dari masyarakat. Langkah ini tidak populer, karena masyarakat masih dibebani dengan biaya pendidikan. Akan tetapi, dalam kondisi seperti ini pihak sekolah terbantu karena kekurangan dana operasional masih bisa ditutup dengan kontribusi dari orang tua atau masyarakat. Ketiga, pemda menganggap dana BOS sudah cukup bagi sekolah, sehingga pemda menggratiskan sekolah, tetapi tidak mengalokasikan atau mengalokasikan dalam jumlah kecil APBD-nya untuk keperluan operasional sekolah. Ini merupakan kondisi yang sangat menyulitkan banyak sekolah karena dikhawatirkan berimplikasi buruk pada kualitas pendidikan. Di sisi lain, masyarakat menikmati sekolah gratis, meskipun ada ancaman penurunan kualitas yang belum tentu dirasakan dengan segera.Situasi di atas menunjukkan bahwa pendidikan gratis tidak selalu baik bagi masyarakat. Masyarakat memang memerlukan pendidikan yang murah, tetapi pada saat yang sama juga memerlukan pendidikan yang bermutu dan harus disadari betul bahwa segala sesuatu memang memerlukan pengorbanan finansial. Sayangnya, murah dan bermutu tidak selalu bisa berjalan seiring, lagi-lagi mengutip pepatah Jawa “ Ana rega ana rupa”. Dalam kasus tertentu, bagi pemda yang tidak mengalokasikan APBD dalam jumlah yang cukup untuk keperluan operasional sekolah, kebijakan pendidikan gratis justru menjadi perangkap. Kualitas pendidikan, yang sudah sering diragukan, akan semakin terpuruk akibat tidak terpenuhinya kebutuhan operasional sekolah. Oleh karena itu, masyarakat harus cukup cerdas dalam mencermati wacana pendidikan gratis.
B. Indikator pendidikan gratis
”PEMERINTAH dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajarminimalpada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” (UU Sisdiknas Pasal 34, ayat (2). Inilah dasar hukum mengapa pendidikan dasar harus gratis, meskipun dalam UU Sisdiknas sendiri terminologi ‘gratis’ tidak dikenal.Karena politisi dan para calon bupati/walikota dan bahkan calon gubernur kebanyakan telanjur menggunakan istilah pendidikan gratis ketika berkampanye untuk menduduki posisinya masing-masing, pendidikan gratislah yang paling menjadi terkenal beberapa tahun terakhir ini pendidikan gratis banyak dikumandangkan untuk berkampanye para politisi, bupati/walikota dan bahkan gubernur dalam rangka merebut simpati para pemilihnya. Namanya juga janji. Ada yang ketika mereka benar-benar menjadi pejabat publik, kemudian langsung memenuhinya dan juga ada yang tidak peduli sama sekali. Mereka yang memenuhi kemudian memang memiliki political will dan dengan demikian mengalokasikan dana dari APBD mereka untuk menggratiskan wajib belajar (wajar) pendidikan dasar di daerah kekuasaannya. Pada konteks seperti ini, pendidikan gratis bisa berjalan dengan wajar sehingga sekolah masih memiliki cukup sumber daya untuk berkembang dan melakukan inovasi yang memerlukan biaya.Dalam konteks seperti ini sekolah tidak dipasung dengan utopia pendidikan gratis. Dengan demikian ketika pemda sanggup menambahi dana untuk membiayai operasional sekolah maka sekolah masih memiliki ruang untuk melakukan peningkatan kualitas pendidikan di sekolahnya masing-masing.
E). Pandangan masyarakat terhadap pendidiakan gratis
Pada tataran bawah, sebutlah tingkat kabupaten/kota sampai ke sekolah, ”pendidikan gratis” membawa dampak pada sejumlah persoalanKosakata dan implementasinya menimbulkan salah tafsir dan pertentangan pendapat. Di satu pihak gratis itu berarti tanpa ada pungutan apa pun, tetapi di pihak lain sering dikatakan gratis hanya untuk komponen tertentu. Implementasi pendidikan gratis terbukti meresahkan sekolah-sekolah swasta karena sumber pendanaannya yang kian terbatas/tersumbat karena masyarakat sering tidak amat peduli terhadap perbedaan negeri dan swasta dalam pembiayaan. Kebijakan pendidikan gratis ternyata hanya menyangkut komponen biaya operasional, sedangkan biaya investasi dan biaya perseorangan (sesuai PP No 47/2008) tidak termasuk di dalamnyaberbeda dan terbatasnya kemampuan pendanaankabupaten/kota untuk menunjang pendidikan gratis ini sehingga implementasi gratis di satu kabupaten berbeda dengan kabupaten lain.Kebijakan pendidikan gratis telah begitumenyurutkan peran serta masyarakat. Dan tragisnya, termasuk segala bentuk iuran dihilangkan (termasuk iuran saat ada kematian warga sekolah).Mungkin ini hanya terjadi di Jawa Tengah—terbukti subsidi pendidikan untuk 22.295 SD dan SMP di Jawa Tengah sudah menghabiskandana Rp 11 triliun pada 2009.Nuansa politis pendidikan gratis lebih mengemuka dibandingkan kandungan maksudnya. Contohnya, para siswa dari keluarga kaya tidak dipungut biaya apa pun karena pendidikan gratis dimaknai secara politis sebagai ”hasil perjuangan politis” yang harus dinikmati oleh siapa pun tanpa membedakan kaya miskin.
C.Implementasi Pendidikan gratis
Kebijakan pendidikan gratis telah diputuskan, uang/pembiayaan telah disediakan, tetapi implementasi di tingkat bawah (sekolah dan masyarakat) menimbulkan banyak persoalan,.Jalan keluar terbaik harus ditemukan/disepakati bersama dalam empat pokok pikiran substansial.Seiring dengan berjalannya era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menetapkan kebijakan termasuk di bidang pendidikan di daerahnya masing-masing, salah satunya adalah implementasi kebijakan pendidikan gratis di Kabupaten Banyuwangi. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana implementasi kebijakan pendidikan gratis dan faktor-faktor apa sajakah yang menghambat implementasi kebijakan pendidikan gratis di Kabupaten Banyuwangi. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti memakai metode penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif.Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam tidak hanya kepada aparat pelaksana tetapi juga kepada masyarakat selaku kelompok sasaran.Sedangkan pengumpulan data sekunder melalui dokumentasi.Teknik penentuan informan, secara purposive yang selanjutnya berkembang dengan teknik snowball.Hasil penelitian dari penelitian ini adalah dalam implementasi kebijakan pendidikan gratis telah terjadi unsuccenssfull implementation (implementasi yang tidak berhasil) dimana kebijakan ini tidak berhasil mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki yaitu membebaskan masyarakat dari beban biaya pendidikan. Tidak berhasilnya implementasi kebijakan pendidikan gratis ini disebabkan oleh masih adanya faktor-faktor yang mampu menjadi menghambat dalam implementasi kebijakan pendidikan gratis sehingga kebijakan pendidikan gratis tidak dapat diimplementasikan secara sempurna, antara lain tidak adanya kejelasan informasi terutama tentang keterlambatan dana mengganggu hubungn kerjasama antar aparat pelaksana, sumberdaya anggaran berupa dana bantuan pendidikan yang belum mencukupi kebutuhan sekolah, kurangnya sumberdaya informasi mengenai ketaatan aparat pelaksana, SOP untuk mengimplementasikan kebijakan pendidikan gratis belum ada dan dukungan wali murid terhadap implementasi kebijakan pendidikan gratis masih kurang yang ditunjukkan dengan rendahnya partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap implementasi kebijakan pendidikan gratis.
D. Gratis atau Subsidi
Rencana pemerintah untuk menggratiskan biaya sekolah, patut disambut dengan gembira.Dan, mungkin inilah yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat pada umumnya di seluruh penjuru nusantara.Lagipula, planning untuk mengalokasikan subsidi BBM ke sektor pendidikan itu, tampaknya telah sepakati oleh beberapa fraksi di dewan perwakilan rakyat.Kabar tersebut seperti diberikatakan oleh bebarapa media elektronik dan cetak nasional beberapa waktu yang lalu.Namun pertanyaan yang mengganjal di hati kami adalah, mampukah mutu pendidikan menjadi lebih meningkat hanya dengan membebaskan biaya pendidikan formal? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa setidaknya upaya itu ditempuh untuk mencegah bertambahnya para anak muda yang drop out, putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi.subsidi pendidikan dialokasikan sebaiknya tidak hanya diperuntukkan terbatas pada siswa sekolah saja, melainkan juga untuk kesejahteraan guru (atau bahkan orang tua/wali siswa?). Jangan lupa, seorang guru pun bisa saja tidak mampu mencukupi kebutuhan pimer sehari-harinya.Ini juga untuk menghindari adanya 'kecemburuan sosial' terhadap anak didiknya. Jika persoalan ekomomis guru terbantukan, -untuk tidak dikatakan terpenuhi-maka setidak-tidaknya akan tumbuh semangat yang menyala untuk memotivasi siswa agar terus maju dan giat belajar dan bekerja. Siswa yang berprestasi -tanpa memandang tingkat status ekonomi-layak diberi award,penghargaan, misalnya berupa beasiswa melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Contoh semacam ini akan menjadi pemicu bagi siswa yang lain, utamanya dari golongan yang kurang mampu, untuk bisa mengejar ketertinggalannya, dalam bidang akademik dan non akademik. Perlu adanya jalur khusus bagi siswa yang memiliki bakat dan minat yang berbeda, umpamanya dengan cara memberikan sejumlah ketrampilan yang diminatinya. Ini untuk mencegah tekanan jiwa pada siswa yang hanya memiliki kemampuan intelejensi yang biasa-biasa atau pas-pasan saja, sehingga bisa menyalurkan skill yang tampak menonjol dalam dirinya dan bahkan potensi belum muncul sekalipun.
E. Dampak pendidikan gratis
Setiap program yang dibuat, tentunya akan menimbulkan dampak, baik dampak positif maupundampak negatif. Begitu pula dengan program pendidikan gratis, terdapat banyak dampak yang ditimbulkan. Adapun dampak positif yang dapat terjadi adalah :- Meratanya pendidikan di Indonesia dan tingkat pendidikan di Indonesia akan- Mencerdaskan para penerus bangsa- Meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manusia- Tingkat pengangguran akan berkurang- Tingkat kemiskinan akan turun- Memajukan pendidikan dan perekonomian bangsa
Dampak negatif yang dapat terjadi adalah :- Kurang dapat berkembang karena biaya operasional sekolah sangat tergantung dari bantuan pemerintah.- Orang tua tidak dapat menuntut banyak karena merasa telah mendapatkan kemudahan (pendidikan gratis).- Dana yang dikucurkan pemerintah menjadi sia-sia, jika orangtua kurang mendukung memotivasi anaknya untuk bersekolah.- Terjadinya penyelewengan dana jika kurangnya pengawasan yang ketat.
Dari sini kita dapat melihat bahwa salah satu dampak positif dari kebijakan pendidikan gratis ini adalah adanya peningkatan mutu pendidikan meskipun, peningkatannyatidak terlalu mencolok untuk sekarang ini.Ada 2 Faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, Khususnya di Indonesia yaitu, Faktor Internal, Meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departement Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan dan juga Sekolah yang berada di garis depan. Dalam hal ini interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik. Faktor Eksternal, Adalah masyarakat pada umunya. Dimana, masyarakat merupakan ikon dan merupakan tujuan dari pendidikan, atau kata lain sebagai objek pendidikan. Ingat akan sebuah pepatah yang mengatakan “guru kencing berdiri murid kencing berlari”.jangan sampai hal ini terjadi, kualitas pendidikan akan semakin meprihatinkan bayangkan saja ketika seorang murid memiliki moral yang “rusak”, maka kita pasti akan bertanya “siapa bapaknya?” atau orang akan bertanya “siapa gurunya?”
Faktor internal yang memberikan pengaruh lebih kepada anak didik yaitu pendidik--dalam hal ini guru. Meskipun semua fasilitas dalam sekolah itu sudah lengkap, namun jika guru sebagai pengajar tidak memiliki keterampilan dan ilmu yang baik maka kualitas atau mutu pendidikan--dilihat dari lulusan peserta didik-- akan semakin memprihatinkan.Jadimutu/kualitas dari keluaran sekolah bersubsidi penuh pendidikan grati sangat ditentukan oleh kinerja faktor internal dan eksternal secara seimbang, karena mutu pendidikan tidak hanya ditentukan oleh satu faktor melainkan berbagai faktor yang saling mendukung satu sama lain.Sekolah gratis pada jenjang pendidikan dasar yang dicanangkan pemerintah belum diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan guru. Akibatnya, pendapatan para guru, terutama pada jenjang SD dan SMP, menurun. Sebagian pendapatan guru selama ini ditopang oleh iuran yang dihimpun dari masyarakat.Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan mengatakan, permasalahan terutama terjadi pada guru-guru yang bertugas di perkotaan. Di dalam anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) perkotaan sekitar 60 persen untuk insentif tenaga pendidik, termasuk untuk instruktur ekstrakurikuler.
Ketika sekolah tidak diizinkan untuk memungut iuran dari masyarakat seiring dengan adanya bantuan operasional sekolah (BOS) dan pendidikan gratis, seluruh aktivitas di sekolah mengandalkan BOS. Padahal, dana BOS tidak memadai untuk operasional sekolah di perkotaan. ”Insentif tambahan dari iuran masyarakat sudah dihapuskan.