SILABUS SMP KELAS IX
DOWNLOAD DISINI
Tuesday, 19 March 2013
Monday, 4 March 2013
KARATERISTIK PERKEMBANGAN AFEKTIF
A.
Pengertian Afektif
Afektif menurut
kamus besar bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan rasa takut atau cinta,
mempengaruhi keadaan, perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau makna yang
menunjukkan perasaan.
Perbuatan atau
perilaku yang disertai perasaan tertentu disebut warna afektif yang
kadang-kadang kuat, lemah atau tidak jelas. Pengaruh dari warna afektif
tersebut akan berakibat perasaan menjadi lebih mendalam. Perasaan ini di sebut
emosi (Sarlito, 1982:59).
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang
berbeda. Emosi dan perasaan merupakan suatu gejala emosional yang secar
kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasnya. Pada suatu saat
tertentu warna afektif dapat dikatakan
sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi, contohnya marah
yang ditunjukan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali mendefinisikan emosi. Oleh
karena itu, yang dimaksudkan disini bukan terbatas pada emosi atau perasaan
saja, tetapi meliputi setiap keadaan pada diri seseorang yang di sertai dengan
warna, baik pada tingkat yang lemah (dangkal) maupun yang kuat (mendalam).
Menurut Crow & Crow (1958) pengertian
emosi adalah sebagai berikut :“ An emotion, is an affective experience that
accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological stirredup
states in the individual, and that shows it self in his overt behavior”.
Jadi, emosi
adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu
tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
Dalam
perspektif islam, segala macam emosi dan ekspresinya, diciptakan oleh Allah
melalui ketentuannya. Emosi di ciptakan oleh Allah untuk membentuk manusia yang
lebih sempurna. Dalam Al-Qur’an dinyatakan :
“Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan manusia
tertawa dan menangis, Dan
bahwasanya Dialah yang mematikan dan
menghidupkan” (QS AL-Najm [53] : 43-44)
Al-Qur’an dan
hadits banyak membahas tentang ekspresi emosi manusia. Berbagai ekspresi emosi
dasar manusia, mulai dari kesedihan, kemarahan,ketakutan, dan lain-lain
diungkapkan dengan bahasa yang indah dalam firman Allah dan sunnah Rasul
tersebut. Emosi yang lain yang lebih kompleks, seperti malu, sombong, bangga,
iri hati, dengki, penyesalan, dan lain-lain juga terangkaikan dalam berbagai
kalimat. Demikian juga tentang cinta dan benci.
B.
Teori Perkembangan Afektif
Erik H.
Erikson berpendapat bahwa perkembangan manusia adalah
sintesis dari tugas-tugas perkembangan dan tugas-tugas sosial. Erikson
mengemukakan teori perkembangan afektif yang terdiri atas 8 tahap :
1. Trust
Vs Mistrust / Kepercayaan dasar (0;0-1;0)
Bayi yang
kebutuhannya terpenuhi waktu ia bangun, keresahannya segera terhapus, selalu dibuai dan diperlakukan sebaik-baknya, diajak main dan
bicara, akan tumbuh perasaannya bahwa dunia ini tempat yang aman dengan
orang-orang di sekitarnya yang selalu bersedia menolong dan dapat dijadkan
tempat ia menggantungkan nasibnya. Jika pemeliharaan bayi itu tidak sebagaimana
mestinya maka sebaliknya akan timbul rasa penolakan dan ketidakpercayaan pada
orang sekitarnya. Perasaan ini akan terus terbawa
padatingkatperkembanganselanjutnya.
2. Autonomy
Vs Shame and Doubt/ Otonomi (1;0-3;0)
Dimensi autonomy
initimbulnya karena adanya kemampuan motoris dan mental anak.Pada tahap ini
bukan hanya berrjalan, tetapi juga memanjat, menarik dan mendorong, memegang
dan melepaskan dan lain-lainya. Anak sangat bangga dengan kemampuanya ini dan
ia ingin melakukan banyak hal sendiri. Orang tua sebaiknya menyadari bahwa anak
butuh melakukan sendiri hal-hal yang sesuai dengan kemampuanya menurut langkah
dan waktunya sendiri.
Jika orang
dewasa yang mengasuh dan membimbing anak tidak sabar den selalu membantu
mengerjakan segala sesuatu yang sesungguhnya dapat dikerjakan sendiri oleh anak
itu, maka akan tumbuh pada anak itu rasa malu-malu dan
ragu-ragu. Orang tua yang terlau melindungi dan selalu mencela hasil pekerjaan
anaknya, berarti telah memupuk rasa malu dan ragu yang berlebihan pada anak
itu. Jika anak anak meninggalkan fase ini, ia akan mengalami kesulitan untuk
memperoleh autonomy pada masa remaja dan masa dewasanya.
3. Initiatives
Vs Guilt / Inisiatif (3;0-5;0)
Pada masa ini
anak sudah menguasai badan dan geraknya.Pada anak mulai tumbuh “kepribadian” ia mulai
mengetahui kemampuannya dan bisa berkhayal mengenai apa yang akan dilakukan. Ia
bisa mengambil inisiatif untuk tindakan yang yang akan dilakukan. TetaPI rencana-rencana yangakan dilakukan tidak selamanya berkenan bagi orang dewasa yang
ada disekitarnya dan karena insiatif ini didorong oleh kepercayaan dari
kebebasan yang baru diperolehnya, sedangkan ia ingin menarik kembali rencana
ini maka timbul perasaan bersalah.
4. Industry
Vs Inferiority / Produktivitas (6;0-11;0)
Anak mulai
berpikir deduktif, belajar dan bermain menurut peraturan yang ada.Anak didorong
untuk membuat, melakukan dan mengerjakan dengan benda-benda yang praktis, dan
mengerjakanya samapai selesai sehingga menghasilkan sesuatu.Padausiasekolahdasariniduniaanakbukan
hanya lingkungan rumah saja melainkan mencakup lembaga-lembaga lain yang
mempunyai peranan yang penting dalam perekembangan inividu. Tahap menunjukkan anak yang berada pada usia sekolah memperoleh bermacam-macam keterampila dan kemampuan
serta mengetahui apa yang akan dilaakukannya dan bagaimana ia akan melakukan.
Maka ia akan memperleh perasaan gairah.
Ia merasa ia mampu melakukan sesuatu. Tetapi dipihak lain, ia bisa menemui
kegagalan dan terlihat ketidak mampuannya dihadapan orang-orang dewasa, maka
akan timbul perasaan rendah diri.
5.
Identity Vs Role Confusion / Identitas (12;0-18;0)
Pada fase ini
anak menuju kematang fisik dan mental.Anak mempunyai perasaan-perasaan dan
keinginan-keinginan baru sebagai akibat perubahan-perubahan tubuhnya.Ia mulai
dapat berpikir tentang pikiran orang lain, ia berpikir pula apa yang dipikirkan
orang lain tentang dirinya. Ia mulai mengerti tentang keluarga ideal, agama dan
masyarakat. Pada masa ini remaja harus dapat mengintegrasikan apa yang telah
dialami dan dipelajarinya tentang dirinya misal sebagai anak, pelajar, anggota
osis dan sebaginya menjadi satu kesatuan sehingga menunjukan kontinuitas dengan
masa lalu dan sikap menghadapi masa datang.
6.
Intimacy Vs Isolation / Keakraban (19;0-25;0)
Yang dimaksud
intimacy oleh Erikson selain hubungan suami istri adalah juga kemampuan untuk
berbagai rasa dan perhatian pada orang lain.Jika intimacy tidak terdapat
diantara sesama teman atau suami istri,menurut Erikson, akan terdapat apa yang
disebut isolation, yakni kesendirian tanpa adanya orang lain untuk berbagi rasa
dan saling memperhatikan.
7.
Generavity Vs Self Absorption / Generasi Berikut (25;0-45;0)
Generavity
berarti bahwa orang mulai memikirkan orang-orang lain di luar keluarganya
sendiri, memikirkan generasi yang akan datang serta
hakikat masyarakat dan dunia tempat generasi itu hidup. Orang yang tidak
berhasil mencapai generavity bearti ia berada dalam keadaan self absorption
dengan hanya memutuskan perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan dan kesenangan
pribadi.
8. Integrity
Vs Despair / Integritas (45;0,….)
Pada fase ini
usaha-usaha yang pokok pada individu sudah mendekati kelengkapan, dan merupakan
masa-masa untuk menikmati pergaulan dengan-cucu-cucu.Integrity timbul dari
kemapuan individu untuk melihat kembali kehidupan yang lalu dengan
kepuasan.Sedangkan kebalikanya adalah despair, yaitu keadaan dimana individu
yang melihat kembali dan meninjau kembali kehidupanya masa lalu sebagai
rangkaian kegagalan dan kehilangan arah.
C.
Pola Perkembangan Emosi
Kemampuan untuk
bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir. Gejala pertama
perilaku ialah keteransangan umum terhadap stimulasi yang kuat. Keterangsangan
yang berlebih-lebihan ini tercermin
dalam aktivitas yang banyak pada bayi yang baru lahir. Meskipun demikian pada
saat lahir bayi tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dapat dinyatakan
sebagai keadaan emosional yang spesifik.
Bayi
yang baru lahir umumnya sudah dapat
menangis, tetapi ia harus mencapai tingkat kematangan tertentu sebelum
ia dapat tertawa. Kalau anak itu sudah lebih besar, maka ia akan belajar bahwa
menangis dan tertawa dapat digunakan untuk maksud-maksud tertentu pada
situasi-situasi tertentu.
Keterangsangan
umum pada bayi yang baru lahir dapat dibedakan menjadi reaksi yang
sederhana yang mengesankan tentang kesenangan dan ketidak
senangan. Reaksi yang tidak menyenangkan dapat diperoleh dengan cara mengubah
posisi bayi secara tiba-tiba, sekonyong-konyong membuat suara keras, merintangi
gerakan bayi, membiarkan bayi tetap mengenakan popok yang basah, dan
menempelkan sesuatu yang dingin pada kulitnya. Rangsangan semacam itu
menyebabkan timbulnya tangisan. Sebaliknya, reaksi yang menyenangkan tampak
jelas tatkala bayi menetek. Reaksi semacam itu juga dapat diperoleh dengan cara
mengayun-ayunkannya, menepuk-nepuknya, memberikannya kehangatan dan
membopongnya dengan mesra. Rasa senang pada bayi dapat terlihat dari relaksasi
yang menyeluruh pada tubuhnya, dan dari suara yang menyenangkan.
Pada
usia enam sampai sepuluh minggu, senyum sosial muncul, diikuti dengan tindakan
yang menunjukkan kesenangan lain, seperti menggumam dan mengunyah. Senyum
sosial ini muncul sebagai tanggapan dari senyum dan interaksi dengan orang
dewasa. Siklus ini muncul sebagai pola timbal balik dimana bayi dan orang lain
mendapatkan kesenangan dari interaksi sosial. Ketika bayi lebih menyadari
lingkungannya, senyum muncul sebagai tanggapan dari berbagi konteks.
Bayi mulai dapat
tertawa pada usia 3 atau 4 bulan, tergantung tingkat perkembangan kognitif,
karena tertawa terjadi ketika terdapat hal-hal diluar kebiasaannya, seperti
dicuim pada perut, permainan petak umpet dan lain-lain. Tertawa juga
meningkatkan perkembangan sosial, karena memancing interaksi sosial timbal
balik.
Ketika
bayi lebih besar (7-12 bulan), bayi mulai mengespresikan takut, jijik dan marah
karena kematangan kognitif yang mereka miliki. Kemarahan sering diekspresikan
dengan menangis, ia merupakan emosi yang paling sering ditunjukkan bayi. Ekspresi kemarahan memiliki fungsi
adaptif, menunjukkan hal yang tidak disukai bayi, sehingga orang lain
mengetahui ada sesuatu yang harus diubah. Beberapa bayi menunjukkan ekspresi
kesedihanpada keadaan yang tidak menyenangkan , namun kemarahan lebih sering.
Ketakutan juga muncul selama tahap ini jika melihat sesuatu yang tidak mereka
ketahui. Wajah takut terhadap orang dewasa
asing dapat muncul pada usia tujuh bulan, berkaitan dengsan ikatan
emosional yang tumbuh antara bayi dan orang tuanya. Orang tua juga menjadi
sumber utama sosialisasi bayi untuk mengomunikasikan pengalaman emosinya dalam
budaya yang spesifik, melalui proses peniruan dan pengajaran langsung. Selain
itu dalam tahap ini, bayi juga mulai memiliki referensi sosial, bayi mulai
mengenal emosi orang lain dan menggunakan informasinya untuk bereaksi pada
situasi dan orang baru.
Dengan
meningkatnya usia anak berarti emosional mereka lebih dapat dibedakan. Sebagai
contoh, anak yang lebih muda memperlihatkan ketidak senangan semata-mata hanya
dengan menjerit dan menangis. Kemudian reaksi mereka semakin bertambah yang
meliputi perlawanan, melemparkan benda, mengejangkan tubuh, lari menghindar,
bersembunyi, dan mengeluarkan kata-kata. Dengan bertambahnya umur, maka reaksi
yang berwujud bahasa meningkat, sedangkan reaksi gerakan otot berkurang.
Pada usia 1-2 tahun, bayi mulai
menunjukkan emosi yang lebih kompleks seperti malu-malu. Pada tahap ini bayi
mulai belajar bahasa, yang memungkinkannya memahami alasan suatu emosi, serta
mengekspresikan perasaannya secara verbal. Makin besar anak itu, makin besar
pula kemampuannya untuk belajar sehingga perkembangan emosi makin rumit.
Perkembangan emosi melalui proses pematangan hanya terjadi sampai usia satu
tahun. Setelah itu perkembangan selanjutnya lebih banyak ditentukan oleh proses
belajar.
Bayi berumur 20 bulan dapat memahami
berbagai emosi dan keadaan fisiologinya, seperti kelelahan, tidur, sakit,
tertekan, jijik, dan kasih sayang. Kemampuan ini merupakan langkah pertama anak
dalam tahap perkembangannya untuk memiliki pengaturan diri emosional. Anak-anak
membutuhkan orang tua untuk mempelajari ini, misalnya bercakap-cakap dengan
orang tuanya mengenai emosinya. Kemampuan empatik juga mulai muncul pada anak
berusia 2 tahun. Perkembangan empati membutuhkan keterampilan anak untuk
membaca isyarat emosional oran lain, memahami bahwa orang lain berbeda dari
dirinya, dan mencoba memahami posisi dan perspektif orang lain. Anak akan
menggunakan bahasa yang menyenangkan dan kontak fisik dengan ibunya, jika
mereka merasa tidak nyaman, meniru apa yang telah mereka dapatkan ketika mereka
dalam keadaan bingung.
Pada usia pra sekolah ( 3-6 tahun) kapasitas
anak untuk mengatur emosinya meningkat. Orang tua membantu anak pada usia ini
untuk menghadapi emosi negatif dengan mengajarkan, mencontohkan dengan
menggunakan penalaran dan penjelasan verbal. Anak yang mengalami kesulitan
untuk mempelajari ketrampilan seringkali menunjukkan perilaku yang berlebihan
atau sebaliknya menarik diri ketika berhadapan dengan situasi yang mengundang
rasa takut dan cemas.
Pada usia 3 tahun anak masih memiliki kemampuan terbatas
untuk menyembunyikan emosi yang dimilikinya untuk memenuhi aturan penampilan
emosi yang dapat diterima oleh kebudayaan setempat. Misalnya seorang anak yang
berbohong tentang mainan yang dirusaknya pada usia ini, masih memperlihatkan
rasa tidak sukanya pada mainan tersebut. Namun, mereka cukup dapat
menyembunyikan informasi yang sesungguhnya yang ingin diketahui orang lain.
Mulai usia 4 tahun, anak mulai
mengusai kemampuan untuk meningkatkan ekspresi emosinya, yang disesuaikan
dengan yang ada. Keterampilan ini disebut aturan tampilan emosi, aturan khusus
sesuai budaya setempat yang menunjukkan kesesuaian mengekspresikan emosi pada
situasi tertentu. Dengan demikian, ekspresi emosi eksternal tidak harus sesuai
dengan keadaan emosi internal seseorang. Anak pada usia sekitar 3 tahun juga
belajar bahwa kemarahan dan agresivitas harus dikontrol didepan orang dewasa,
sedang dengan teman sebayanya anak tidak terlalu menekan perilaku emosi
negatif. Perbedaan ini muncul karena konsekuensi yang mereka terima berbeda.
Mulai umur 4 atau 5 tahun,anak juga mengembangkan pengertian yang lebih dalam
terhadap emosi orang lain, sejalan dengan meningkatnya kemampuan kognitif yang
mereka miliki. Melalui pengalaman yang berulang-ulang, anak mengembangkan
konsep sebab akibat dari emosi. Anak pada usia ini juga mulai membuat prediksi
tentang pengalaman ekspresi mereka.
Dengan
pertambahan usia, anak prasekolah menjadi lebih baik untuk mengeluarkan emosi
yang berbeda dengan emosi yang dimilikinya, namun masih berbeda dengan jika
mereka mengeluarkan emosi mereka yang sebenarnya. Pada usia sekolah anak
menjadi lebih mampu menyesuaikan dirinya dengan tuntutan tampilan emosi dari
lingkungannya. Anak perempuan lebih didorong untuk memahami aturan ini,
sehingga mereka lebih manis dari segi tata krama.
Anak berusia 7-12
tahun menunjukkan ketrampilan regulasi diri dengan variasi yang lebih luas.
Kecanggihan dalam memahami dan menunjukkan tampilan emosi yang sesuai dengan
aturan sosial meningkat pada tahap ini. Anak mulai mengetahui kapan harus
mengontrol ekspresi emosi bagaimana juga mereka menguasai keterampilan regulasi
perilaku yang memungkinkan mereka menyembunyikan emosinya dengan cara sesuai
aturan sosial. Anak lebih sensitif terhadap isyarat lingkungan sosial yang
mengatur keputusan dalam mengontrol emosi negatif. Anak juga sudah membentuk
serangkaian harapan tentang hasil dari ekspresi emosinya kepada orang lain.
Secara umum, anak juga lebih banyak mengatur kemarahan dan kesedihannya kepada
teman-temanya dari pada orang tuanya. Dengan bertambahnya usia, mereka lebih
banyak mengeluarkan emosi negatifnya kepada orang tuanya. Anak pada usia ini
juga mendemonstrasikan ketrampilan kognitif dan perilaku untuk mengatasi
emosinya, seperti rasionalisasi atas kejadian yang tidak mereka sukai. Selama
masa kanak-kanak pertengahan, anak mulai memahami keadaan emosi orang lain
tidak sesederhana yang mereka pikirkan, dan seringkali merupakan hasil dari
penyebab yang rumit dan terkadang tidak jelas. Mereka juga mulai memahami bahwa
seseorang mungkin merasakan lebih dari satu emosi pada satu waktu, walaupun
kemampuan ini terbatas dan berkembang perlahan. Tampilan empati juga lebih
sering pada tahap ini. Anak dengan keluarga yang sering mendiskusikan kompleksitas
emosi lebih siap mengahadapi hal ini dari pada keluarga yang biasa
menghindarinya.
Remaja ( 12-18
tahun )mulai menjadi lebih canggih dalam
mengatur emosi mereka. Mereka memiliki perbendarahaan untuk mendiskusikan, dan
memengaruhi keadaan emosi diri mereka sendiri dan orang lain. Remaja lebih
dapat menerjemahkan situasi sosial sebagai bagian dari proses tampilan emosi.
Remaja mengembangkan skema tentang berbagai variasi orang tertentu dalam
menunjukkan emosinya, dan mengatur tampilan emosi mereka berdasarkan skema
tersebut. Pada awalnya remaja mulai mencoba melepas ikatan emosional mereka
dengan orang tua dan lebih banyak mengembangkan persahabatan dengan teman
sebayanya. Remaja, terutama laki-laki, lebih banyak menyembunyikan emosi mereka
kepada orang tuanya dibandingkan anak yang lebih muda, karena mereka
mengharapkan untuk tidak terlalu banyak mendapatkan dukungan emosional dari
orang tuanya. Remaja menjadi sangat memperhatikan dampak ekspresi emosi dalam
interaksi sosial mereka dan berusahaa untuk mendapatkan persetujuan teman
sebaya. Jenis kelamin memainkan peran penting dalam menunjukkan tampilan emosi,
laki-laki lebih berusaha menyembunyikan rasa takut dibandingkan perempuan.
Mereka yang memasuki usia dewasa muda ( 18-30
tahun ) memiliki kebutuhan untuk merasakan keintiman dan melakukan hubungan
sekssual. Mereka berusaha menghindari perasaan terasing, yang sebagai hasilnya
mereka berjuang untuk mendapatkan cinta dan penghargaan. Mereka belajar bahwa
cinta dan penghargaan dapat membuat mereka mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Pada usia ini mereka belajar untuk mandiri dari segi penghasilan dan
lebih bertanggung jawab terhadap tugas-tugas orang dewasa. Mereka berusaha
untuk mandiri, termasuk dari orang tuanya. Mereka meninggalkan masa remaja yang
dianggap naif dan menjadi lebih matang
dari segi emosi. Sebagi orang dewasa mereka belajar nilai-nilai yang baik yang
terlihat maupun yang abstrak. Hubungan mereka dengan orang tua dan orang dewasa
lain berubah. Pada masa ini dapat terjadi sesuatu yang disebut krisis
seperempat usia. Karakteristik krisis pada masa ini adalah kebingungan
identitas, ketidak amanan terhadap masa depan, ketidak amanan prestasi saat
ini, evaluasi kembali terhadap hubungan intim, kekecewaan terhadap pekerjaan,
nostalgia masa sekolah, kecendrungan untuk memegang pendapat, kebosanan
terhadap interaksi sosial, stress terhadap kempuan finansial dan kesepian. Hal
ini terjadi setelah mereka lulus pendidikan dan harus mengahadapi dunia nyata.
Setelah kegembiraan memasuki usia dewasa dan segala tanggung jawabnya, individu mengalami stagnasi karier
dan rasa tidak aman yang ekstrem. Banyak diantara mereka yang mengalami
emosi “ abu-abu ”. Interaksi emosial
yang intensif pada masa remaja, pada masa ini menjadi lebih halus dan lebih
pribadi.
Setelah mencapai awal 30-an, mereka umumnya
menjadi lebih tenang. Mereka yang telah berhasil mengatasi krisis sebelumnya,
telah memiliki investasi keuangan dan emosi untuk hidup mereka. Mereka lebih
menfokuskan diri untuk meningkatkan karier dan mestabilkan kehidupan peribadi
mereka. Umumnya mereka telah membentuk keluarga. Mereka diharapkan telah
memiliki kematangan emosi dengan karakteristik yang sangat mengontrol emosi
yang lebih baik, kepribadian lebih stabil, kemampuan mengatur diri yang lebih
baik, lebih serius dalam menghadapi masalah yang sulit, lebih bertanggung
jawab, memiliki komitmen dan lebih dipercayai, dapat berpikir lebih panjang, memiliki
kesabaran yang lebih baik, kemampuan untuk bertahan pada situasi yang lebih
sulit, lebih dapat memahami sesuatu, lebih realistik dan objektif.
Memasuki usia 40-an tahun, mereka dapat
mengalami krisis usia pertengahan. Pada usia ini mereka telah melewati
masa-masa dimana mereka berusaha untuk meraih prestasi hidup. Mereka mulai
mengalami keadaan emosi di mana mereka merasakan keraguan dan kecemasan
terhadap kenyataan bahwa kehidupan mereka telah dilewati setengahnya. Individu
melakukan refleksi terhadap kehidupa mereka, dan sering kali merasakan banyak
hal yang belumm dapat terpenuhi. Individu yang merasakan hal itu dapat mengalami kebosanan dengan kehidupan,
pekerjaan, dan pasangan hidup mereka, sehingga mereka memiliki keinginan untuk
mengubah area tersebut. Kondisi ini juga disebut sebagai awal dari proses
individuasi, proses aktualisasi diri yang terus berlangsung sampai kematian.
Kondisi ini lebih banyak memengaruhi laki-laki dari pada perempuan. Beberapa
orang merasa tertantang untuk menunjukkan usia ini bukan sesuatu menyedihkan,
dengan sikap yang sehat dan perencanaan yang baik, usia pertengahan dapat
menjadi tahun-tahun terbaik bagi seseorang.
Memasuki usia lanjut mereka mulai mengalami
penurunan kondisi fisik, sehingga banyak memulai mengakhiri karier pekerjaan
mereka. Mereka mulai lebih banyak memiliki waktu untuk melakukan evaluasi diri.
Dalam hal ini, mereka dapat mengalami sindroma pascakekuasaan. Hilangnya
kekuasaan secara tiba-tiba, dan kemunduran fisik dapat menjadi sumber frustrasi
pada usia ini. Namun, melalui evaluasi diri, mereka dapat memperoleh
kebijaksanaan tentang makna dan proses kehidupan. Mereka yang dapat menerima
dirinya akan mencapai integritas kepribadian mereka lebih dapat menghargai
keterbatasan dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, jika mereka merasa gagal dalam
kehidupan periode sebelumnya, mereka dapat merasakan perasaan tidak berharga
dan putus asa.
D.
Karakteristik Emosi Anak
Ciri
khas emosi anak membuatnya berbeda dari emosi orang dewasa. Ciri khas nya dijelaskan
sebagai berikut.
1.
Rasa Takut
Rangsangan yang umum
menimbulkan rasa takut pada masa bayi ialah suara yang keras, binatang, kamar
yang gelap, tempat yang tinggi, berada seorang diri, rasa sakit, orang yang
tidak dikenal, tempat dan obyek yang
tidak dikenal. Anak-anak lebih takut kepada benda-benda di bandingkan dengan
bayi atau anak yang lebih tua. Usia anatara 2 sampai 6 tahun merupakan masa
puncak bagi rasa takut yang khas di dalam pola perkembangan yang normal. Alasannya karena anak kecil lebih
mampu mengenal bahaya dibandingkan dengan bayi, tetapi kurangnya pengalaman
menyebabkan mereka kurang mampu mengenal apakah sesuatu bahaya merupakan
ancaman atau tidak.
Di kalangan anak-anak
yang lebih tua, rasa takut terpusat pada bahaya yang fantastis dan samar-samar,
pada gelap dan makhluk imajinatif yang diasosiasikan dengan gelap, pada
kematian atau luka, pada berbagai elemen terutama guntur dan kilat, serta pada
karakter dalam dongeng, film, buku, komik televisi.
Terlepas dari usia anak,
ciri khas yang penting pada semua rangsangan takut ialah bahwa hal itu terjadi
secara mendadak dan tidak di duga-duga dan anak hanya mempunyai kesempatan yang
kecil sekali untuk menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Rasa takut kepada
orang yang tidak dikenal pada bayi sebagian disebabkan karena terbiasa melihat
wajah yang sudah dikenal dan karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan cepat
pada kemunculan orang yang tidak dikenal tersebut.
2.
Rasa Malu
Rasa malu merupakan
bentuk ketakutan yang ditandai oleh penarikan diri dari hubungan dengan orang
lain yang tidak dikenal atau tidak sering berjumpa. Study terhadap bayi telah
menunjukkan bahwa selama pertengahan tahun pertama kehidupan rasa malu
merupakan reaksi yang hampir universal terhadap orang yang tidak dikenal atau
orang yang sudah dikenal tetapi memakai baju atau rambut yang tidak seperti
biasanya. Alasan bagi adanya rasa malu ini adalah bahwa pada umur 6 bulan bayi
secara intelektual cukup matang untuk mengenal perbedaan antara orang yang
dikenal dengan orang yang tidak dikenal,
tetapi belum cukup matang untuk mengetahui bahwa orang yang dikenal itu tidak
bersikap mengancam. Setelah bayi berhubungan dengan orang yang semakin banyak,
mereka mulai mengetahui bahwa orang yang tidak dikenal sering kali merupakan
teman bermain yang menyenangkan. Meskipun demikian jika rasa malu itu sangat
kuat dan sering terjadi, hal itu dapat menimbulkan sifat pemalu yang
mempengaruhi hubungan sosial anak setelah masa bayi berlalu. Mereka kemudian
menjadi anak pemalu. Pada bayi, reaksi yang umum terhadap rasa malu iyalah
menangis, memalingkan muka dari orang yang tidak dikenal, bergayut pada orang
yang sudah akrab untuk berlindung.
Anak-anak yang lebih tua
menunjukkan rasa malu dengan muka memerah, dengan menggagap, dengan berbicara
sesedikit mungkin, dengan tingkah yang gugup seperti menarik-narik telinga atau
baju, dengan menolehkan wajah ke arah lain dan kemudian mengangkatnya dengan
tersipu-sipu untuk menatap orang yang tidak dikenal itu.
3.
Rasa Khawatir
Rasa khawatir biasanya
dijelaskan sebagai khayalan ketakutan atau gelisah tanpa alasan. Tidak seperti
ketakutan yang nyata, rasa khawatir tidak langsung ditimbulkan oleh rangsangan
dalam lingkungan tetapi merupakan produk fikiran anak itu sendiri. Rasa
khawatir timbul karena membayangkan situasi berbahaya yang mungkin akan
meningkat. Kekhawatiran adalah normal pada masa kanak-kanak, bahkan pada
anak-anak yang penyesuaianya baik sekalipun.
Cara anak mengekspresikan
kekhawatiran bergantung pada pola kepribadian masing-masing. Anak yang merasa
rendah diri yang tidak mampu cenderung memendam kekhawatiran mereka,
memikirkannya sendiri, dan terlalu melebih-lebihkan kekurangannya. Sebaliknya,
anak-anak yang lebi baik penyesuaiannya cenderung membicaraka kekhawatiran
mereka dengan orang yang dianggap simpatik.
4.
Rasa Marah
Rasa marah adalah
ekspresi yang lebih sering diungkapkan pada masa kanak-kanak jika dibandingkan
dengan rasa takut. Alasannya ialah karena rangsangan yang menimbulkan rasa
marah lebih banyak, dan pada usia yang dini anak-anak mengetahui bahwa
kemarahan merupakan cara yang efektif untuk memperoleh perhatian atau memenuhi
keinginan mereka.
Umumnya situasi yang
menimbulkan kemarahan meliputi berbagai macam batasan, rintangan terhadap gerak
yang diinginkan anak, baik rintangan itu berasal dari orang lain maupun ketidak
mampuan diri sendiri, rintangan terhadap aktifitas yang sudah mulai berjalan
dan rintangan terhadap keinginan, rencana, serta niat yang ingin dilakukan
anak. Bayi bereaksi dengan ledakan marah terhadap ketidak enakan fisik yang
ringan, rintangan terhadap aktifitas fisik dan pembebanan paksaan dalam hal
perawatan, misalnya, pada saat mandi dan dikenakan pakaian. Ketidak mampuan
untuk membuat diri mereka dimengerti melalui ocehan atau usaha berbicara yang
belum saatnya juga menyebabkan mereka jengkel. Disamping itu, mereka menjadi
marah jika orang tidak memberikan perhatian sebanyak yang ia inginkan atau jika
milik mereka diambil.
5.
Rasa Cemburu
Rasa cemburu adalah reaksi normal terhadap
kehilangan kasih sayang yang nyata, dibayangkan, atau ancaman kehilangan kasih
sayang. Rasa cemburu timbul dari kemarahan yang menimbulkan sikap jengkel dan
ditujukan kepada orang lain. Pola rasa cemburu seringkali berasal dari rasa
takut yang dikombinasikan dengan rasa marah. Orang yang cemburu merasa tidak
tentram dalam hubungannya dengan orang yang dicintai dan takut kehilangan
status dalam hubungan kasih sayang itu. Situasi yang menimbulkan rasa cemburu
selalu merupakan situasi sosial. Ada tiga sumber utama yang menimbulkan rasa
cemburu, dan kadar penting masing-masing sumber bervariasi menurut tingkat
umur.
Pertama, rasa cemburu pada masa kanak-kanak umumnya
ditumbuhkan di rumah: artinya timbul dari kondisi yang ada di lingkungan rumah.
Karena bayi yang baru lahir meminta banyak waktu dan perhatian ibu maka anak
yang lebih tua menjadi terbiasa menerima rasa diabaikan. Kemudian ia merasa
sakit hati terhadap adik yang baru dan ibunya.
Kedua, situasi sosial juga di sekolah juga merupakan
sumber belbagai kecemburuan bagi anak-anak yang berusia lebih tua. Kecemburuan
yang berasal dari rumah sering dibawa ke sekolah dan mengakibatkan anak-anak
memandang setiap orang disana, yaitu para guru dan teman sekelas , sebagai ancaman bagi keamanan mereka. Untuk
melindungi keadaan mereka, anak-anak
kemudian mengembangkan sikap kepemilikan terhadap guru atau teman sekelas yang
mereka pilih sebagai teman, dan marah apabila orang yang dianggap sebagai
miliknya itu memperlihatkan perhatian kepada orang lain. Rasa cemburu secara
normal hilang apabila anak-anak berhasil melakukan penyesuaian yang baik di
sekolah, tetapi dapat berkobar kembali apabila guru memperbandingkan seorang
anak dengan teman sekelasnya atau kakaknya.
Ketiga, dalam situasi dimana anak merasa
ditelantarkan dalam hal pemilikan benda-benda seperti dimiliki anak lain
membuat mereka cemburu kepada anak itu. Jenis kecemburuan ini berasal dari rasa
iri, yaitu keadaan marah dan kekesalan hati yang ditunjukkan kepada orang yang
memiliki benda yang diirikan. Dengan demikian rasa iri adalah bentuk ketamakan.
6.
Dukacita
Dukacita adalah trauma psikis, suatu
kesengsaraan emosional yang disebabkan oleh hilangnya sesuatu yang dicintai.
Dalam bentuk yang lebih ringan keadaan ini dikenal sebagai kesusahan atau
kesedihan. Terlepas dari intensitas dan umur tatkala hal tersebut dialami,
dukacita adalah salahsatu dari emosi yang paling tidak menyenangkan.
Bagi anak-anak umumnya, dukacita bukan emosi
yang sangat umum. Ada tiga alasan mengenai hal ini. Pertama, para orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya berusaha
mengamankan anak tersebut dari berbagai aspek dukacita yang menyakitkan karena
hal itu dianggap dapat merusak kebahagiaan masa kanak-kanak dan dapat menjadi
dasar bagi masa dewasa yang tidak bahagia. Kedua,
anak-anak, terutama apabila mereka masih kecil, mempunyai ingatan yang
tidak bertahan terlalu lama, sehingga mereka dapat dibantu melupakan dukacita
apabila perhatian mereka dialihkan kesesuatu yang menyenangkan. Ketiga, tersedianya pengganti untuk
sesuatu yang telah hilang itu, mungkin mainan yang dicintai atau ayah atau ibu
yang dicintai, seringkali dapat memalingkan mereka dari kesedihan kepada
kebahagiaan.
7.
Keingintahuan
Maw and Maw menerangkan tentang anak yang
penuh keingintahuan dengan cara berikut:[anak] (a) bereaksi secara positif
terhadap unsur-unsur yang baru, aneh, tidak layak, atau misterius dalam
lingkungannya dengan bergerak ke arah benda tersebut, memeriksanya, atau
mempermain-mainkannya; (b) memperlihatkan kebutuhan atau keinginan untuk lebih
banyak mengetahui tentang dirinya sendiri dan/ atau lingkungannya; (c)
mengamati lingkungannya untuk mencari pengalaman baru; dan /atau (d) bertekun
dalam memeriksa dan/atau menyelidiki rangsangan dengan maksud untuk lebih
banyak mengetahui seluk-beluk unsur-unsur tersebut.
Rangsangan yang menimbulkan keingintahuan
anak-anak sangat banyak. Anak-anak menaruh minat terhadap segala sesuatu di
lingkungan mereka, termasuk diri sendiri. Mereka ingin mengetahui tubuh mereka,
bermacam-macam bagian tubuh, apa yang dilakukan oleh setiap bagian tubuh,
mengapa mereka mempunyai bentuk tubuh sebagaimana yang mereka punyai. Mereka
juga ingin mengetahui apa yang ada di dalam tubuh mereka seperti: dimana letak
perut, jantung, paru-paru, dan sebagainya dan apa fungsi masing-masing.
Bayi mengekspresikan keingintahuan dengan
menegangkan otot muka, membuka mulut, menjulurkan lidah, dan mengerutkan dahi.
Ini merupakan keadaan kewaspadaanyang sama dengan keadaan takut. Tatkala bayi
menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang perlu ditakuti, mereka mencoba memeriksa
dengan memegang dan menggoyangkan segala sesuatu yang ada dalam jangkauan
mereka.
8.
Kegembiraan, Keriangan, Kesenangan
Kegembiraan adalah emosi yang menyenangkan,
yang juga dikenal dengan keriangan, kesenangan, atau kebahagiaan. Setiap anak
berbeda-beda intensitas kegembiraan dan jumlah kegembiraannya serta cara
mengekspresikannya sampai batas-batas tertentu dapat diramalkan. Sebagai
contoh, ada kecenderungan umur yang dapat diramalkan, yaitu anak-anak yang
lebih muda merasa gembira dalam bentuk yang lebih menyolok daripada anak-anak
yang lebih tua.
Dikalangan bayi, emosi kegembiraan, keriangan,
dan kebahagiaan berasal dari keadaan fisikyang sehat. Emosi yang menyenangkan
juga berkaitan dengan aktivitas bayi
seperti mendekut, mengoceh, merangkak, berdiri, berjalan, dan
berdiri.Pada anak yang lebih tua, rangsangan - rangsangan yang menimbulkan
emosi yang menyenangkan pada umur yang lebih muda masih tetap memberikan
kesenangan. Keadaan fisik yang sehat, situasi yang ganjil, permainan kata-kata,
malapetaka yang ringan, dan suara yang datangnyatiba-tiba atau tidak diduga
tetap mampu menimbulkan senyum dan tawa mereka. Mungkin sebab yang paling umum
dari kegembiraan dan keriangan pada anak-anak yang lebih tua adalah
keberhasilan mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan untuk diri mereka
sendiri. Semakin keras mereka harus berusaha untuk mencapai tujuan, semakin
besar kegembiraan mereka akhirnya mereka berhasil.
Dengan meningkatnya usia, anak-anak belajar
mengekspresikan kegembiraan mereka dalam pola yang diterima secara sosial oleh
kelompok tempat mereka mempersamakan diri. Mereka belajar bahwa merasa puas
atas kesusahan orang lain yang telah mereka kalahkan adalah perilaku yang tidak
jantan. Oleh karena itu, mereka belajar untuk tidak memperlihatkan kegembiraan
mereka walaupun dalam hati penuh dengan kesukacitaan.
Emosi kegembiraan selalu disertai dengan senyuman
dan tawa dan suatu relaksasi tubuh sepenuhnya. Hal ini sangat bertentangan
dengan ketegangan yang terjadi pada emosi yang tidak menyenangkan. Anak kecil
juga mengekspresikan kebahagiaan mereka dengan aktivitas otot. Mereka
melompat-lompat, berguling-guling di lantai, bersorak dengan riang, bertepuk
tangan, memeluk orang, binatang, atau obyek yang menimbulkan kegembiraan
mereka, dan tertawa dengan hingar-bingar.
9.
Kasih Sayang
Kasih sayang adalah reaksi emosional terhadap
seseorang, binatang atau benda. Hal itu menunjukkan perhatian yang hangat, dan
mungkin terwujud dalam bentuk fisik atau kata-kata. Faktor belajar memainkan
peran penting untuk menentukan kepada siapa kasih sayang itu ditujukan pada
orang atau obyek yang khusus. Anak-anak cenderung paling suka kepada orang yang
menyukai mereka dan anak-anak bersikap “ramah-tamah” terhadap orang itu. Kasih
sayang mereka terutama ditujukan kepada manusia. Obyek kasih sayang yang berupa
binatang atau benda kadang-kadang merupakan pengganti bagi obyek kasih sayang
kepada manusia. Agarmenjadi emosi yang menyenangkan dan dapat menunjang
penyesuaian yang baik, kasih sayang harus berbalas. Harus ada tali penyambung
antara anak-anak dengan orang-orang yang berarti dalam kehidupan mereka.
Bossard dan Boll memberi nama pada hubungan yang timbal balik ini sebagai
“kompleks empati”.
Gorrison menekankan keseimbangan dalam
hubungan tersebut:cinta tampak merupakan hal yang timbal balik dan tumbuh
terbaik apabila sekaligus diberikan dan juga diterima. Penolakan yang terus
menerus di rumah mungkin menyebabkan kemampuan anak untuk memberikan kasih
sayang tidak berkembang, atau mungkin menyebabkan dia mencari kasih sayang dari
orang lain di luar rumah. KasIh sayang yang berlebihan dan pemanjaan dapat
menimbulkan pengaruh yang tidak diinginkan sebagaimana penolakan atau
kekurangan kasih sayang. Oleh karena itu, ada bahaya bahwa kasih sayang
berlebih-lebihan terhadap satu atau kedua orang tua akan cenderung meniadakan
kasih sayang terhadap teman sebaya.
E.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
PerkembanganEmosi
Perkembangan
emosi anak bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock,
1960;266). Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak
berarti tidak ada, reaksi tersebut mungkin akan muncul dikemudian hari, dengan
berfungsinya sistem endokrin. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama
lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi.
Kematangan adalah
proses intrinsik yang terjadi dengan sendirinya sesuai dengan potensi yang ada.
Antara kematangan dan latihan atau proses belajar terdapat interaksi erat yang
mempengaruhi perkembangan. Bahwa perkembangan pada permulaan adalah penting dan
mutlak. Landasan untuk perkembangan selanjutnya harus sudah diletakkan pada
permulaan-permulaan perkembangan anak agar kelak setelah dewasa tidak mengalami
gangguan emosi atai kepribadian pada umumnya.
Freud
mengemukakan bahwa kehidupan emosi pada tahun-tahun pertama kehidupan anak
harus berlangsung dengan baik agar tidak akan menjadi masalah setelah dewasa.
Metoda belajar
yang menunjang perkembangan emosi antara lain adalah :
1. Belajar dengan coba-coba
Anak belajar
secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang
memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan
pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.
2. Belajar dengan cara meniru
Dengan cara
mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi
dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
3. Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning
by identification)
Anak menirukan reaksi
emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang telah membangkitkan
emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan
mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
4. Belajar melalui pengkondisian
Dengan
metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional,
kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi dengan
mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu
menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang
mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka. Setelah melewati masa
kanak-kanak, penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan
rasa suka dan tidak suka.
5. Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan
pengawasan, terbatas pada aspek reaksi
Kepada anak
diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi terangsang.
Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang
biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi
secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak
menyenangkan.
Anak memperhalus
ekspresi-ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika ia beranjak dari masa
kanak-kanak ke masa remaja. Mendekati berakhirnya usia remaja, seorang anak
telah melewati banyak badai emosional yang lebih tenang yang mewarnai pasang
surut kehidupannya, ia juga telah belajar dalam seni menyembunyikan perasaan-perasaannya.
Jadi, emosi yang ditunjukkan mungkin merupakan selubung bagi yang disembunyikan
Kondisi-kondisi kehidupan atau kulturlah yang menyebabkan ia merasa perlu
menyembunyikan perasaan-perasaannya. Kenyataan bahwa para remaja
kadang-kadang tidak mengetahui perasaan mereka atau tidak mampu menghayati
perasaan mereka.
Subscribe to:
Posts (Atom)