Berfikir pada dasarnya
merupakan rangkaian proses kognisi yang bersifat pribadi atau pemrosesan
informasi yang berlangsung selama munculnya stimulus sampai dengan munculnya
respons (morgan, 1989). Dalam proses berfikir digunakan simbol – simbol yang
memiliki makna dan arti tertentu bagi masing – masing individu. Kemampuan
berbahasa dan kemampuan berfikir saling mempengaruhi satu sama lain.
Seseorang
yang rendah kemampuan berfikirnya akan mengalami kesulitan dalam menyusun
kalimat yang baik, logis, dan sistematis. Hal ini berakibat sulitnya
berkomunikasi. Bersosialisasi berarti melakukan konteks dengan orang lain.
Seseorang menyampaikan ide dengan berbahasa dan menangkap ide orang lain juga
dengan melalui bahasa. Menyampaikan dan mengambil ide itu merupakan proses
berfikir yang abstrak. Ketidaktepatan menangkap arti bahasa akan berakibat
ketidaktepatan dan kekeburan presepsi yang diperolehnya. Akibat lebih lanjut
adalah hasil proses berfikir jadi tidak benar, dan hal itu disebabkan karena
kemampuan berbahasa seseorang yang rendah. Sering kali dikatakan oleh banyak
orang bahwa kemampuan berfikir seseorang menentukan dan sekaligus dapat
dipahami dari kemampuan bahasanya. Sebaliknya kemampuan berbahasa seseorang
merupakan pencerminan dari kemampuan berfikir seseorang.
Meskipun demikian, dalam kasus tertentu ada sejumlah orang yang
kemampuan berfikirnya bagus tetapi kemampuan bahasanya kurang. Sebaliknya ada
sejumlah orang yang kemampuan bahasanya bagus
tetapi kemampuan berfikirnya tidak sebagus kemampuan bahasanya.
Seringkali dijumpai sejumlah orang yang mampu menulis dengan bagus untuk
memngekspresikan pemikirannya, tetapi ketika diminta untuk mempersentasikan
pikiran – pikirannya justru jadi tidak menarik. Sebaliknya, ada sejumlah orang
yang ketika diminta mempresentasikan pikiran-pikirannya sangat menarik dan
sangat memukau banyak orang, tetpi ketika diminta menuangkan hasil
pikiran-pikirannya dalam tulisan menjadi tidak menarik.