Thursday, 11 July 2013

KARATERISTIK PERKEMBANGAN AFEKTIF



A.   Pengertian Afektif
Afektif menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan rasa takut atau cinta, mempengaruhi keadaan, perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau makna yang menunjukkan perasaan.
Perbuatan atau perilaku yang disertai perasaan tertentu disebut warna afektif yang kadang-kadang kuat, lemah atau tidak jelas. Pengaruh dari warna afektif tersebut akan berakibat perasaan menjadi lebih mendalam. Perasaan ini di sebut emosi (Sarlito, 1982:59).
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Emosi dan perasaan merupakan suatu gejala emosional yang secar kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasnya. Pada suatu saat tertentu  warna afektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi, contohnya marah yang ditunjukan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali mendefinisikan emosi. Oleh karena itu, yang dimaksudkan disini bukan terbatas pada emosi atau perasaan saja, tetapi meliputi setiap keadaan pada diri seseorang yang di sertai dengan warna, baik pada tingkat yang lemah (dangkal) maupun yang kuat (mendalam).
Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi adalah sebagai berikut :“ An emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological stirredup states in the individual, and that shows it self in his overt behavior”.
Jadi, emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
Dalam perspektif islam, segala macam emosi dan ekspresinya, diciptakan oleh Allah melalui ketentuannya. Emosi di ciptakan oleh Allah untuk membentuk manusia yang lebih sempurna. Dalam Al-Qur’an dinyatakan :
“Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan manusia tertawa dan menangis, Dan
 bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan” (QS AL-Najm [53] : 43-44)
Al-Qur’an dan hadits banyak membahas tentang ekspresi emosi manusia. Berbagai ekspresi emosi dasar manusia, mulai dari kesedihan, kemarahan,ketakutan, dan lain-lain diungkapkan dengan bahasa yang indah dalam firman Allah dan sunnah Rasul tersebut. Emosi yang lain yang lebih kompleks, seperti malu, sombong, bangga, iri hati, dengki, penyesalan, dan lain-lain juga terangkaikan dalam berbagai kalimat. Demikian juga tentang cinta dan benci.
B.      Teori Perkembangan Afektif
Erik H. Erikson berpendapat bahwa perkembangan manusia adalah sintesis dari tugas-tugas perkembangan dan tugas-tugas sosial. Erikson mengemukakan teori perkembangan afektif yang terdiri atas 8 tahap :
1. Trust Vs Mistrust / Kepercayaan dasar (0;0-1;0)
Bayi yang kebutuhannya terpenuhi waktu ia bangun, keresahannya segera terhapus, selalu dibuai dan diperlakukan sebaik-baknya, diajak main dan bicara, akan tumbuh perasaannya bahwa dunia ini tempat yang aman dengan orang-orang di sekitarnya yang selalu bersedia menolong dan dapat dijadkan tempat ia menggantungkan nasibnya. Jika pemeliharaan bayi itu tidak sebagaimana mestinya maka sebaliknya akan timbul rasa penolakan dan ketidakpercayaan pada orang sekitarnya. Perasaan ini akan terus terbawa padatingkatperkembanganselanjutnya.
2.  Autonomy Vs Shame and Doubt/ Otonomi (1;0-3;0)
Dimensi autonomy initimbulnya karena adanya kemampuan motoris dan mental anak.Pada tahap ini bukan hanya berrjalan, tetapi juga memanjat, menarik dan mendorong, memegang dan melepaskan dan lain-lainya. Anak sangat bangga dengan kemampuanya ini dan ia ingin melakukan banyak hal sendiri. Orang tua sebaiknya menyadari bahwa anak butuh melakukan sendiri hal-hal yang sesuai dengan kemampuanya menurut langkah dan waktunya sendiri.
Jika orang dewasa yang mengasuh dan membimbing anak tidak sabar den selalu membantu mengerjakan segala sesuatu yang sesungguhnya dapat dikerjakan sendiri oleh anak itu, maka akan tumbuh pada anak itu rasa malu-malu dan ragu-ragu. Orang tua yang terlau melindungi dan selalu mencela hasil pekerjaan anaknya, berarti telah memupuk rasa malu dan ragu yang berlebihan pada anak itu. Jika anak anak meninggalkan fase ini, ia akan mengalami kesulitan untuk memperoleh autonomy pada masa remaja dan masa dewasanya.
3.  Initiatives Vs Guilt / Inisiatif (3;0-5;0)
Pada masa ini anak sudah menguasai badan dan geraknya.Pada anak mulai tumbuh “kepribadian” ia mulai mengetahui kemampuannya dan bisa berkhayal mengenai apa yang akan dilakukan. Ia bisa mengambil inisiatif untuk tindakan yang yang akan dilakukan.  TetaPI rencana-rencana yangakan dilakukan tidak selamanya berkenan bagi orang dewasa yang ada disekitarnya dan karena insiatif ini didorong oleh kepercayaan dari kebebasan yang baru diperolehnya, sedangkan ia ingin menarik kembali rencana ini maka timbul perasaan bersalah.
4. Industry Vs Inferiority / Produktivitas (6;0-11;0)
Anak mulai berpikir deduktif, belajar dan bermain menurut peraturan yang ada.Anak didorong untuk membuat, melakukan dan mengerjakan dengan benda-benda yang praktis, dan mengerjakanya samapai selesai sehingga menghasilkan sesuatu.Padausiasekolahdasariniduniaanakbukan hanya lingkungan rumah saja melainkan mencakup lembaga-lembaga lain yang mempunyai peranan yang penting dalam perekembangan inividu. Tahap menunjukkan anak yang berada pada usia sekolah  memperoleh bermacam-macam keterampila dan kemampuan serta mengetahui apa yang akan dilaakukannya dan bagaimana ia akan melakukan. Maka ia akan memperleh perasaan  gairah. Ia merasa ia mampu melakukan sesuatu. Tetapi dipihak lain, ia bisa menemui kegagalan dan terlihat ketidak mampuannya dihadapan orang-orang dewasa, maka akan timbul perasaan rendah diri.
5.     Identity Vs Role Confusion / Identitas (12;0-18;0)
Pada fase ini anak menuju kematang fisik dan mental.Anak mempunyai perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan baru sebagai akibat perubahan-perubahan tubuhnya.Ia mulai dapat berpikir tentang pikiran orang lain, ia berpikir pula apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya. Ia mulai mengerti tentang keluarga ideal, agama dan masyarakat. Pada masa ini remaja harus dapat mengintegrasikan apa yang telah dialami dan dipelajarinya tentang dirinya misal sebagai anak, pelajar, anggota osis dan sebaginya menjadi satu kesatuan sehingga menunjukan kontinuitas dengan masa lalu dan sikap menghadapi masa datang.
6.       Intimacy Vs Isolation / Keakraban (19;0-25;0)
Yang dimaksud intimacy oleh Erikson selain hubungan suami istri adalah juga kemampuan untuk berbagai rasa dan perhatian pada orang lain.Jika intimacy tidak terdapat diantara sesama teman atau suami istri,menurut Erikson, akan terdapat apa yang disebut isolation, yakni kesendirian tanpa adanya orang lain untuk berbagi rasa dan saling memperhatikan.
7.       Generavity Vs Self Absorption / Generasi Berikut (25;0-45;0)
Generavity berarti bahwa orang mulai memikirkan orang-orang lain di luar keluarganya sendiri, memikirkan generasi yang akan datang serta hakikat masyarakat dan dunia tempat generasi itu hidup. Orang yang tidak berhasil mencapai generavity bearti ia berada dalam keadaan self absorption dengan hanya memutuskan perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan dan kesenangan pribadi.
8. Integrity Vs Despair / Integritas (45;0,….)
Pada fase ini usaha-usaha yang pokok pada individu sudah mendekati kelengkapan, dan merupakan masa-masa untuk menikmati pergaulan dengan-cucu-cucu.Integrity timbul dari kemapuan individu untuk melihat kembali kehidupan yang lalu dengan kepuasan.Sedangkan kebalikanya adalah despair, yaitu keadaan dimana individu yang melihat kembali dan meninjau kembali kehidupanya masa lalu sebagai rangkaian kegagalan dan kehilangan arah.
C.    Pola Perkembangan Emosi
Kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir. Gejala pertama perilaku ialah keteransangan umum terhadap stimulasi yang kuat. Keterangsangan yang berlebih-lebihan ini  tercermin dalam aktivitas yang banyak pada bayi yang baru lahir. Meskipun demikian pada saat lahir bayi tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dapat dinyatakan sebagai keadaan emosional yang spesifik.
Bayi yang baru lahir umumnya sudah dapat  menangis, tetapi ia harus mencapai tingkat kematangan tertentu sebelum ia dapat tertawa. Kalau anak itu sudah lebih besar, maka ia akan belajar bahwa menangis dan tertawa dapat digunakan untuk maksud-maksud tertentu pada situasi-situasi tertentu.
Keterangsangan umum pada bayi yang baru lahir dapat dibedakan menjadi reaksi yang sederhana  yang  mengesankan tentang kesenangan dan ketidak senangan. Reaksi yang tidak menyenangkan dapat diperoleh dengan cara mengubah posisi bayi secara tiba-tiba, sekonyong-konyong membuat suara keras, merintangi gerakan bayi, membiarkan bayi tetap mengenakan popok yang basah, dan menempelkan sesuatu yang dingin pada kulitnya. Rangsangan semacam itu menyebabkan timbulnya tangisan. Sebaliknya, reaksi yang menyenangkan tampak jelas tatkala bayi menetek. Reaksi semacam itu juga dapat diperoleh dengan cara mengayun-ayunkannya, menepuk-nepuknya, memberikannya kehangatan dan membopongnya dengan mesra. Rasa senang pada bayi dapat terlihat dari relaksasi yang menyeluruh pada tubuhnya, dan dari suara yang menyenangkan.
Pada usia enam sampai sepuluh minggu, senyum sosial muncul, diikuti dengan tindakan yang menunjukkan kesenangan lain, seperti menggumam dan mengunyah. Senyum sosial ini muncul sebagai tanggapan dari senyum dan interaksi dengan orang dewasa. Siklus ini muncul sebagai pola timbal balik dimana bayi dan orang lain mendapatkan kesenangan dari interaksi sosial. Ketika bayi lebih menyadari lingkungannya, senyum muncul sebagai tanggapan dari berbagi konteks.
Bayi mulai dapat tertawa pada usia 3 atau 4 bulan, tergantung tingkat perkembangan kognitif, karena tertawa terjadi ketika terdapat hal-hal diluar kebiasaannya, seperti dicuim pada perut, permainan petak umpet dan lain-lain. Tertawa juga meningkatkan perkembangan sosial, karena memancing interaksi sosial timbal balik.
Ketika bayi lebih besar (7-12 bulan), bayi mulai mengespresikan takut, jijik dan marah karena kematangan kognitif yang mereka miliki. Kemarahan sering diekspresikan dengan menangis, ia merupakan emosi yang paling sering ditunjukkan  bayi. Ekspresi kemarahan memiliki fungsi adaptif, menunjukkan hal yang tidak disukai bayi, sehingga orang lain mengetahui ada sesuatu yang harus diubah. Beberapa bayi menunjukkan ekspresi kesedihanpada keadaan yang tidak menyenangkan , namun kemarahan lebih sering. Ketakutan juga muncul selama tahap ini jika melihat sesuatu yang tidak mereka ketahui. Wajah takut terhadap orang dewasa  asing dapat muncul pada usia tujuh bulan, berkaitan dengsan ikatan emosional yang tumbuh antara bayi dan orang tuanya. Orang tua juga menjadi sumber utama sosialisasi bayi untuk mengomunikasikan pengalaman emosinya dalam budaya yang spesifik, melalui proses peniruan dan pengajaran langsung. Selain itu dalam tahap ini, bayi juga mulai memiliki referensi sosial, bayi mulai mengenal emosi orang lain dan menggunakan informasinya untuk bereaksi pada situasi dan orang baru.
Dengan meningkatnya usia anak berarti emosional mereka lebih dapat dibedakan. Sebagai contoh, anak yang lebih muda memperlihatkan ketidak senangan semata-mata hanya dengan menjerit dan menangis. Kemudian reaksi mereka semakin bertambah yang meliputi perlawanan, melemparkan benda, mengejangkan tubuh, lari menghindar, bersembunyi, dan mengeluarkan kata-kata. Dengan bertambahnya umur, maka reaksi yang berwujud bahasa meningkat, sedangkan reaksi gerakan otot berkurang.
Pada usia 1-2 tahun, bayi mulai menunjukkan emosi yang lebih kompleks seperti malu-malu. Pada tahap ini bayi mulai belajar bahasa, yang memungkinkannya memahami alasan suatu emosi, serta mengekspresikan perasaannya secara verbal. Makin besar anak itu, makin besar pula kemampuannya untuk belajar sehingga perkembangan emosi makin rumit. Perkembangan emosi melalui proses pematangan hanya terjadi sampai usia satu tahun. Setelah itu perkembangan selanjutnya lebih banyak ditentukan oleh proses belajar.
Bayi berumur 20 bulan dapat memahami berbagai emosi dan keadaan fisiologinya, seperti kelelahan, tidur, sakit, tertekan, jijik, dan kasih sayang. Kemampuan ini merupakan langkah pertama anak dalam tahap perkembangannya untuk memiliki pengaturan diri emosional. Anak-anak membutuhkan orang tua untuk mempelajari ini, misalnya bercakap-cakap dengan orang tuanya mengenai emosinya. Kemampuan empatik juga mulai muncul pada anak berusia 2 tahun. Perkembangan empati membutuhkan keterampilan anak untuk membaca isyarat emosional oran lain, memahami bahwa orang lain berbeda dari dirinya, dan mencoba memahami posisi dan perspektif orang lain. Anak akan menggunakan bahasa yang menyenangkan dan kontak fisik dengan ibunya, jika mereka merasa tidak nyaman, meniru apa yang telah mereka dapatkan ketika mereka dalam keadaan bingung.
Pada usia pra sekolah ( 3-6 tahun) kapasitas anak untuk mengatur emosinya meningkat. Orang tua membantu anak pada usia ini untuk menghadapi emosi negatif dengan mengajarkan, mencontohkan dengan menggunakan penalaran dan penjelasan verbal. Anak yang mengalami kesulitan untuk mempelajari ketrampilan seringkali menunjukkan perilaku yang berlebihan atau sebaliknya menarik diri ketika berhadapan dengan situasi yang mengundang rasa takut dan cemas.
Pada usia 3 tahun anak masih memiliki kemampuan terbatas untuk menyembunyikan emosi yang dimilikinya untuk memenuhi aturan penampilan emosi yang dapat diterima oleh kebudayaan setempat. Misalnya seorang anak yang berbohong tentang mainan yang dirusaknya pada usia ini, masih memperlihatkan rasa tidak sukanya pada mainan tersebut. Namun, mereka cukup dapat menyembunyikan informasi yang sesungguhnya yang ingin diketahui orang lain.
Mulai usia 4 tahun, anak mulai mengusai kemampuan untuk meningkatkan ekspresi emosinya, yang disesuaikan dengan yang ada. Keterampilan ini disebut aturan tampilan emosi, aturan khusus sesuai budaya setempat yang menunjukkan kesesuaian mengekspresikan emosi pada situasi tertentu. Dengan demikian, ekspresi emosi eksternal tidak harus sesuai dengan keadaan emosi internal seseorang. Anak pada usia sekitar 3 tahun juga belajar bahwa kemarahan dan agresivitas harus dikontrol didepan orang dewasa, sedang dengan teman sebayanya anak tidak terlalu menekan perilaku emosi negatif. Perbedaan ini muncul karena konsekuensi yang mereka terima berbeda. Mulai umur 4 atau 5 tahun,anak juga mengembangkan pengertian yang lebih dalam terhadap emosi orang lain, sejalan dengan meningkatnya kemampuan kognitif yang mereka miliki. Melalui pengalaman yang berulang-ulang, anak mengembangkan konsep sebab akibat dari emosi. Anak pada usia ini juga mulai membuat prediksi tentang pengalaman ekspresi mereka.
Dengan pertambahan usia, anak prasekolah menjadi lebih baik untuk mengeluarkan emosi yang berbeda dengan emosi yang dimilikinya, namun masih berbeda dengan jika mereka mengeluarkan emosi mereka yang sebenarnya. Pada usia sekolah anak menjadi lebih mampu menyesuaikan dirinya dengan tuntutan tampilan emosi dari lingkungannya. Anak perempuan lebih didorong untuk memahami aturan ini, sehingga mereka lebih manis dari segi tata krama.
Anak berusia 7-12 tahun menunjukkan ketrampilan regulasi diri dengan variasi yang lebih luas. Kecanggihan dalam memahami dan menunjukkan tampilan emosi yang sesuai dengan aturan sosial meningkat pada tahap ini. Anak mulai mengetahui kapan harus mengontrol ekspresi emosi bagaimana juga mereka menguasai keterampilan regulasi perilaku yang memungkinkan mereka menyembunyikan emosinya dengan cara sesuai aturan sosial. Anak lebih sensitif terhadap isyarat lingkungan sosial yang mengatur keputusan dalam mengontrol emosi negatif. Anak juga sudah membentuk serangkaian harapan tentang hasil dari ekspresi emosinya kepada orang lain. Secara umum, anak juga lebih banyak mengatur kemarahan dan kesedihannya kepada teman-temanya dari pada orang tuanya. Dengan bertambahnya usia, mereka lebih banyak mengeluarkan emosi negatifnya kepada orang tuanya. Anak pada usia ini juga mendemonstrasikan ketrampilan kognitif dan perilaku untuk mengatasi emosinya, seperti rasionalisasi atas kejadian yang tidak mereka sukai. Selama masa kanak-kanak pertengahan, anak mulai memahami keadaan emosi orang lain tidak sesederhana yang mereka pikirkan, dan seringkali merupakan hasil dari penyebab yang rumit dan terkadang tidak jelas. Mereka juga mulai memahami bahwa seseorang mungkin merasakan lebih dari satu emosi pada satu waktu, walaupun kemampuan ini terbatas dan berkembang perlahan. Tampilan empati juga lebih sering pada tahap ini. Anak dengan keluarga yang sering mendiskusikan kompleksitas emosi lebih siap mengahadapi hal ini dari pada keluarga yang biasa menghindarinya.
Remaja ( 12-18 tahun )mulai menjadi  lebih canggih dalam mengatur emosi mereka. Mereka memiliki perbendarahaan untuk mendiskusikan, dan memengaruhi keadaan emosi diri mereka sendiri dan orang lain. Remaja lebih dapat menerjemahkan situasi sosial sebagai bagian dari proses tampilan emosi. Remaja mengembangkan skema tentang berbagai variasi orang tertentu dalam menunjukkan emosinya, dan mengatur tampilan emosi mereka berdasarkan skema tersebut. Pada awalnya remaja mulai mencoba melepas ikatan emosional mereka dengan orang tua dan lebih banyak mengembangkan persahabatan dengan teman sebayanya. Remaja, terutama laki-laki, lebih banyak menyembunyikan emosi mereka kepada orang tuanya dibandingkan anak yang lebih muda, karena mereka mengharapkan untuk tidak terlalu banyak mendapatkan dukungan emosional dari orang tuanya. Remaja menjadi sangat memperhatikan dampak ekspresi emosi dalam interaksi sosial mereka dan berusahaa untuk mendapatkan persetujuan teman sebaya. Jenis kelamin memainkan peran penting dalam menunjukkan tampilan emosi, laki-laki lebih berusaha menyembunyikan rasa takut dibandingkan perempuan.
Mereka yang memasuki usia dewasa muda ( 18-30 tahun ) memiliki kebutuhan untuk merasakan keintiman dan melakukan hubungan sekssual. Mereka berusaha menghindari perasaan terasing, yang sebagai hasilnya mereka berjuang untuk mendapatkan cinta dan penghargaan. Mereka belajar bahwa cinta dan penghargaan dapat membuat mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Pada usia ini mereka belajar untuk mandiri dari segi penghasilan dan lebih bertanggung jawab terhadap tugas-tugas orang dewasa. Mereka berusaha untuk mandiri, termasuk dari orang tuanya. Mereka meninggalkan masa remaja yang dianggap naif  dan menjadi lebih matang dari segi emosi. Sebagi orang dewasa mereka belajar nilai-nilai yang baik yang terlihat maupun yang abstrak. Hubungan mereka dengan orang tua dan orang dewasa lain berubah. Pada masa ini dapat terjadi sesuatu yang disebut krisis seperempat usia. Karakteristik krisis pada masa ini adalah kebingungan identitas, ketidak amanan terhadap masa depan, ketidak amanan prestasi saat ini, evaluasi kembali terhadap hubungan intim, kekecewaan terhadap pekerjaan, nostalgia masa sekolah, kecendrungan untuk memegang pendapat, kebosanan terhadap interaksi sosial, stress terhadap kempuan finansial dan kesepian. Hal ini terjadi setelah mereka lulus pendidikan dan harus mengahadapi dunia nyata. Setelah kegembiraan memasuki usia dewasa dan segala tanggung  jawabnya, individu mengalami stagnasi karier dan rasa tidak aman yang ekstrem. Banyak diantara mereka yang mengalami emosi  “ abu-abu ”. Interaksi emosial yang intensif pada masa remaja, pada masa ini menjadi lebih halus dan lebih pribadi.
Setelah mencapai awal 30-an, mereka umumnya menjadi lebih tenang. Mereka yang telah berhasil mengatasi krisis sebelumnya, telah memiliki investasi keuangan dan emosi untuk hidup mereka. Mereka lebih menfokuskan diri untuk meningkatkan karier dan mestabilkan kehidupan peribadi mereka. Umumnya mereka telah membentuk keluarga. Mereka diharapkan telah memiliki kematangan emosi dengan karakteristik yang sangat mengontrol emosi yang lebih baik, kepribadian lebih stabil, kemampuan mengatur diri yang lebih baik, lebih serius dalam menghadapi masalah yang sulit, lebih bertanggung jawab, memiliki komitmen dan lebih dipercayai, dapat berpikir lebih panjang, memiliki kesabaran yang lebih baik, kemampuan untuk bertahan pada situasi yang lebih sulit, lebih dapat memahami sesuatu, lebih realistik dan objektif.
Memasuki usia 40-an tahun, mereka dapat mengalami krisis usia pertengahan. Pada usia ini mereka telah melewati masa-masa dimana mereka berusaha untuk meraih prestasi hidup. Mereka mulai mengalami keadaan emosi di mana mereka merasakan keraguan dan kecemasan terhadap kenyataan bahwa kehidupan mereka telah dilewati setengahnya. Individu melakukan refleksi terhadap kehidupa mereka, dan sering kali merasakan banyak hal yang belumm dapat terpenuhi. Individu yang merasakan hal itu dapat  mengalami kebosanan dengan kehidupan, pekerjaan, dan pasangan hidup mereka, sehingga mereka memiliki keinginan untuk mengubah area tersebut. Kondisi ini juga disebut sebagai awal dari proses individuasi, proses aktualisasi diri yang terus berlangsung sampai kematian. Kondisi ini lebih banyak memengaruhi laki-laki dari pada perempuan. Beberapa orang merasa tertantang untuk menunjukkan usia ini bukan sesuatu menyedihkan, dengan sikap yang sehat dan perencanaan yang baik, usia pertengahan dapat menjadi tahun-tahun terbaik bagi seseorang.
Memasuki usia lanjut mereka mulai mengalami penurunan kondisi fisik, sehingga banyak memulai mengakhiri karier pekerjaan mereka. Mereka mulai lebih banyak memiliki waktu untuk melakukan evaluasi diri. Dalam hal ini, mereka dapat mengalami sindroma pascakekuasaan. Hilangnya kekuasaan secara tiba-tiba, dan kemunduran fisik dapat menjadi sumber frustrasi pada usia ini. Namun, melalui evaluasi diri, mereka dapat memperoleh kebijaksanaan tentang makna dan proses kehidupan. Mereka yang dapat menerima dirinya akan mencapai integritas kepribadian mereka lebih dapat menghargai keterbatasan dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, jika mereka merasa gagal dalam kehidupan periode sebelumnya, mereka dapat merasakan perasaan tidak berharga dan putus asa.

D.     Karakteristik Emosi Anak
Ciri khas emosi anak membuatnya berbeda dari emosi orang dewasa. Ciri khas nya dijelaskan sebagai berikut.
1.      Rasa Takut
Rangsangan yang umum menimbulkan rasa takut pada masa bayi ialah suara yang keras, binatang, kamar yang gelap, tempat yang tinggi, berada seorang diri, rasa sakit, orang yang tidak dikenal,  tempat dan obyek yang tidak dikenal. Anak-anak lebih takut kepada benda-benda di bandingkan dengan bayi atau anak yang lebih tua. Usia anatara 2 sampai 6 tahun merupakan masa puncak bagi rasa takut yang khas di dalam pola perkembangan yang  normal. Alasannya karena anak kecil lebih mampu mengenal bahaya dibandingkan dengan bayi, tetapi kurangnya pengalaman menyebabkan mereka kurang mampu mengenal apakah sesuatu bahaya merupakan ancaman atau tidak.
Di kalangan anak-anak yang lebih tua, rasa takut terpusat pada bahaya yang fantastis dan samar-samar, pada gelap dan makhluk imajinatif yang diasosiasikan dengan gelap, pada kematian atau luka, pada berbagai elemen terutama guntur dan kilat, serta pada karakter dalam dongeng, film, buku, komik televisi.
Terlepas dari usia anak, ciri khas yang penting pada semua rangsangan takut ialah bahwa hal itu terjadi secara mendadak dan tidak di duga-duga dan anak hanya mempunyai kesempatan yang kecil sekali untuk menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Rasa takut kepada orang yang tidak dikenal pada bayi sebagian disebabkan karena terbiasa melihat wajah yang sudah dikenal dan karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan cepat pada kemunculan orang yang tidak dikenal tersebut.

2.      Rasa Malu
Rasa malu merupakan bentuk ketakutan yang ditandai oleh penarikan diri dari hubungan dengan orang lain yang tidak dikenal atau tidak sering berjumpa. Study terhadap bayi telah menunjukkan bahwa selama pertengahan tahun pertama kehidupan rasa malu merupakan reaksi yang hampir universal terhadap orang yang tidak dikenal atau orang yang sudah dikenal tetapi memakai baju atau rambut yang tidak seperti biasanya. Alasan bagi adanya rasa malu ini adalah bahwa pada umur 6 bulan bayi secara intelektual cukup matang untuk mengenal perbedaan antara orang yang dikenal dengan  orang yang tidak dikenal, tetapi belum cukup matang untuk mengetahui bahwa orang yang dikenal itu tidak bersikap mengancam. Setelah bayi berhubungan dengan orang yang semakin banyak, mereka mulai mengetahui bahwa orang yang tidak dikenal sering kali merupakan teman bermain yang menyenangkan. Meskipun demikian jika rasa malu itu sangat kuat dan sering terjadi, hal itu dapat menimbulkan sifat pemalu yang mempengaruhi hubungan sosial anak setelah masa bayi berlalu. Mereka kemudian menjadi anak pemalu. Pada bayi, reaksi yang umum terhadap rasa malu iyalah menangis, memalingkan muka dari orang yang tidak dikenal, bergayut pada orang yang sudah akrab untuk berlindung.
Anak-anak yang lebih tua menunjukkan rasa malu dengan muka memerah, dengan menggagap, dengan berbicara sesedikit mungkin, dengan tingkah yang gugup seperti menarik-narik telinga atau baju, dengan menolehkan wajah ke arah lain dan kemudian mengangkatnya dengan tersipu-sipu untuk menatap orang yang tidak dikenal itu.
3.      Rasa Khawatir
Rasa khawatir biasanya dijelaskan sebagai khayalan ketakutan atau gelisah tanpa alasan. Tidak seperti ketakutan yang nyata, rasa khawatir tidak langsung ditimbulkan oleh rangsangan dalam lingkungan tetapi merupakan produk fikiran anak itu sendiri. Rasa khawatir timbul karena membayangkan situasi berbahaya yang mungkin akan meningkat. Kekhawatiran adalah normal pada masa kanak-kanak, bahkan pada anak-anak yang penyesuaianya baik sekalipun.
Cara anak mengekspresikan kekhawatiran bergantung pada pola kepribadian masing-masing. Anak yang merasa rendah diri yang tidak mampu cenderung memendam kekhawatiran mereka, memikirkannya sendiri, dan terlalu melebih-lebihkan kekurangannya. Sebaliknya, anak-anak yang lebi baik penyesuaiannya cenderung membicaraka kekhawatiran mereka dengan orang yang dianggap simpatik.
4.      Rasa Marah
Rasa marah adalah ekspresi yang lebih sering diungkapkan pada masa kanak-kanak jika dibandingkan dengan rasa takut. Alasannya ialah karena rangsangan yang menimbulkan rasa marah lebih banyak, dan pada usia yang dini anak-anak mengetahui bahwa kemarahan merupakan cara yang efektif untuk memperoleh perhatian atau memenuhi keinginan mereka.
Umumnya situasi yang menimbulkan kemarahan meliputi berbagai macam batasan, rintangan terhadap gerak yang diinginkan anak, baik rintangan itu berasal dari orang lain maupun ketidak mampuan diri sendiri, rintangan terhadap aktifitas yang sudah mulai berjalan dan rintangan terhadap keinginan, rencana, serta niat yang ingin dilakukan anak. Bayi bereaksi dengan ledakan marah terhadap ketidak enakan fisik yang ringan, rintangan terhadap aktifitas fisik dan pembebanan paksaan dalam hal perawatan, misalnya, pada saat mandi dan dikenakan pakaian. Ketidak mampuan untuk membuat diri mereka dimengerti melalui ocehan atau usaha berbicara yang belum saatnya juga menyebabkan mereka jengkel. Disamping itu, mereka menjadi marah jika orang tidak memberikan perhatian sebanyak yang ia inginkan atau jika milik mereka diambil.
5.      Rasa Cemburu
Rasa cemburu adalah reaksi normal terhadap kehilangan kasih sayang yang nyata, dibayangkan, atau ancaman kehilangan kasih sayang. Rasa cemburu timbul dari kemarahan yang menimbulkan sikap jengkel dan ditujukan kepada orang lain. Pola rasa cemburu seringkali berasal dari rasa takut yang dikombinasikan dengan rasa marah. Orang yang cemburu merasa tidak tentram dalam hubungannya dengan orang yang dicintai dan takut kehilangan status dalam hubungan kasih sayang itu. Situasi yang menimbulkan rasa cemburu selalu merupakan situasi sosial. Ada tiga sumber utama yang menimbulkan rasa cemburu, dan kadar penting masing-masing sumber bervariasi menurut tingkat umur.
Pertama, rasa cemburu pada masa kanak-kanak umumnya ditumbuhkan di rumah: artinya timbul dari kondisi yang ada di lingkungan rumah. Karena bayi yang baru lahir meminta banyak waktu dan perhatian ibu maka anak yang lebih tua menjadi terbiasa menerima rasa diabaikan. Kemudian ia merasa sakit hati terhadap adik yang baru dan ibunya.
Kedua, situasi sosial juga di sekolah juga merupakan sumber belbagai kecemburuan bagi anak-anak yang berusia lebih tua. Kecemburuan yang berasal dari rumah sering dibawa ke sekolah dan mengakibatkan anak-anak memandang setiap orang disana, yaitu para guru dan teman sekelas , sebagai  ancaman bagi keamanan mereka. Untuk melindungi keadaan  mereka, anak-anak kemudian mengembangkan sikap kepemilikan terhadap guru atau teman sekelas yang mereka pilih sebagai teman, dan marah apabila orang yang dianggap sebagai miliknya itu memperlihatkan perhatian kepada orang lain. Rasa cemburu secara normal hilang apabila anak-anak berhasil melakukan penyesuaian yang baik di sekolah, tetapi dapat berkobar kembali apabila guru memperbandingkan seorang anak dengan teman sekelasnya atau kakaknya.
Ketiga, dalam situasi dimana anak merasa ditelantarkan dalam hal pemilikan benda-benda seperti dimiliki anak lain membuat mereka cemburu kepada anak itu. Jenis kecemburuan ini berasal dari rasa iri, yaitu keadaan marah dan kekesalan hati yang ditunjukkan kepada orang yang memiliki benda yang diirikan. Dengan demikian rasa iri adalah bentuk ketamakan.
6.      Dukacita
Dukacita adalah trauma psikis, suatu kesengsaraan emosional yang disebabkan oleh hilangnya sesuatu yang dicintai. Dalam bentuk yang lebih ringan keadaan ini dikenal sebagai kesusahan atau kesedihan. Terlepas dari intensitas dan umur tatkala hal tersebut dialami, dukacita adalah salahsatu dari emosi yang paling tidak menyenangkan.
Bagi anak-anak umumnya, dukacita bukan emosi yang sangat umum. Ada tiga alasan mengenai hal ini. Pertama, para orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya berusaha mengamankan anak tersebut dari berbagai aspek dukacita yang menyakitkan karena hal itu dianggap dapat merusak kebahagiaan masa kanak-kanak dan dapat menjadi dasar bagi masa dewasa yang tidak bahagia. Kedua, anak-anak, terutama apabila mereka masih kecil, mempunyai ingatan yang tidak bertahan terlalu lama, sehingga mereka dapat dibantu melupakan dukacita apabila perhatian mereka dialihkan kesesuatu yang menyenangkan. Ketiga, tersedianya pengganti untuk sesuatu yang telah hilang itu, mungkin mainan yang dicintai atau ayah atau ibu yang dicintai, seringkali dapat memalingkan mereka dari kesedihan kepada kebahagiaan.
7.      Keingintahuan
Maw and Maw menerangkan tentang anak yang penuh keingintahuan dengan cara berikut:[anak] (a) bereaksi secara positif terhadap unsur-unsur yang baru, aneh, tidak layak, atau misterius dalam lingkungannya dengan bergerak ke arah benda tersebut, memeriksanya, atau mempermain-mainkannya; (b) memperlihatkan kebutuhan atau keinginan untuk lebih banyak mengetahui tentang dirinya sendiri dan/ atau lingkungannya; (c) mengamati lingkungannya untuk mencari pengalaman baru; dan /atau (d) bertekun dalam memeriksa dan/atau menyelidiki rangsangan dengan maksud untuk lebih banyak mengetahui seluk-beluk unsur-unsur tersebut.
Rangsangan yang menimbulkan keingintahuan anak-anak sangat banyak. Anak-anak menaruh minat terhadap segala sesuatu di lingkungan mereka, termasuk diri sendiri. Mereka ingin mengetahui tubuh mereka, bermacam-macam bagian tubuh, apa yang dilakukan oleh setiap bagian tubuh, mengapa mereka mempunyai bentuk tubuh sebagaimana yang mereka punyai. Mereka juga ingin mengetahui apa yang ada di dalam tubuh mereka seperti: dimana letak perut, jantung, paru-paru, dan sebagainya dan apa fungsi masing-masing.
Bayi mengekspresikan keingintahuan dengan menegangkan otot muka, membuka mulut, menjulurkan lidah, dan mengerutkan dahi. Ini merupakan keadaan kewaspadaanyang sama dengan keadaan takut. Tatkala bayi menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang perlu ditakuti, mereka mencoba memeriksa dengan memegang dan menggoyangkan segala sesuatu yang ada dalam jangkauan mereka.
8.      Kegembiraan, Keriangan, Kesenangan
Kegembiraan adalah emosi yang menyenangkan, yang juga dikenal dengan keriangan, kesenangan, atau kebahagiaan. Setiap anak berbeda-beda intensitas kegembiraan dan jumlah kegembiraannya serta cara mengekspresikannya sampai batas-batas tertentu dapat diramalkan. Sebagai contoh, ada kecenderungan umur yang dapat diramalkan, yaitu anak-anak yang lebih muda merasa gembira dalam bentuk yang lebih menyolok daripada anak-anak yang lebih tua.
Dikalangan bayi, emosi kegembiraan, keriangan, dan kebahagiaan berasal dari keadaan fisikyang sehat. Emosi yang menyenangkan juga berkaitan dengan aktivitas bayi  seperti mendekut, mengoceh, merangkak, berdiri, berjalan, dan berdiri.Pada anak yang lebih tua, rangsangan - rangsangan yang menimbulkan emosi yang menyenangkan pada umur yang lebih muda masih tetap memberikan kesenangan. Keadaan fisik yang sehat, situasi yang ganjil, permainan kata-kata, malapetaka yang ringan, dan suara yang datangnyatiba-tiba atau tidak diduga tetap mampu menimbulkan senyum dan tawa mereka. Mungkin sebab yang paling umum dari kegembiraan dan keriangan pada anak-anak yang lebih tua adalah keberhasilan mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan untuk diri mereka sendiri. Semakin keras mereka harus berusaha untuk mencapai tujuan, semakin besar kegembiraan mereka akhirnya mereka berhasil.
Dengan meningkatnya usia, anak-anak belajar mengekspresikan kegembiraan mereka dalam pola yang diterima secara sosial oleh kelompok tempat mereka mempersamakan diri. Mereka belajar bahwa merasa puas atas kesusahan orang lain yang telah mereka kalahkan adalah perilaku yang tidak jantan. Oleh karena itu, mereka belajar untuk tidak memperlihatkan kegembiraan mereka walaupun dalam hati penuh dengan kesukacitaan.
Emosi kegembiraan selalu disertai dengan senyuman dan tawa dan suatu relaksasi tubuh sepenuhnya. Hal ini sangat bertentangan dengan ketegangan yang terjadi pada emosi yang tidak menyenangkan. Anak kecil juga mengekspresikan kebahagiaan mereka dengan aktivitas otot. Mereka melompat-lompat, berguling-guling di lantai, bersorak dengan riang, bertepuk tangan, memeluk orang, binatang, atau obyek yang menimbulkan kegembiraan mereka, dan tertawa dengan hingar-bingar.
9.      Kasih Sayang
Kasih sayang adalah reaksi emosional terhadap seseorang, binatang atau benda. Hal itu menunjukkan perhatian yang hangat, dan mungkin terwujud dalam bentuk fisik atau kata-kata. Faktor belajar memainkan peran penting untuk menentukan kepada siapa kasih sayang itu ditujukan pada orang atau obyek yang khusus. Anak-anak cenderung paling suka kepada orang yang menyukai mereka dan anak-anak bersikap “ramah-tamah” terhadap orang itu. Kasih sayang mereka terutama ditujukan kepada manusia. Obyek kasih sayang yang berupa binatang atau benda kadang-kadang merupakan pengganti bagi obyek kasih sayang kepada manusia. Agarmenjadi emosi yang menyenangkan dan dapat menunjang penyesuaian yang baik, kasih sayang harus berbalas. Harus ada tali penyambung antara anak-anak dengan orang-orang yang berarti dalam kehidupan mereka. Bossard dan Boll memberi nama pada hubungan yang timbal balik ini sebagai “kompleks empati”.
Gorrison menekankan keseimbangan dalam hubungan tersebut:cinta tampak merupakan hal yang timbal balik dan tumbuh terbaik apabila sekaligus diberikan dan juga diterima. Penolakan yang terus menerus di rumah mungkin menyebabkan kemampuan anak untuk memberikan kasih sayang tidak berkembang, atau mungkin menyebabkan dia mencari kasih sayang dari orang lain di luar rumah. KasIh sayang yang berlebihan dan pemanjaan dapat menimbulkan pengaruh yang tidak diinginkan sebagaimana penolakan atau kekurangan kasih sayang. Oleh karena itu, ada bahaya bahwa kasih sayang berlebih-lebihan terhadap satu atau kedua orang tua akan cenderung meniadakan kasih sayang terhadap teman sebaya.
E.       Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi PerkembanganEmosi
Perkembangan emosi anak bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 1960;266). Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi tersebut mungkin akan muncul dikemudian hari, dengan berfungsinya sistem endokrin. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi.
Kematangan adalah proses intrinsik yang terjadi dengan sendirinya sesuai dengan potensi yang ada. Antara kematangan dan latihan atau proses belajar terdapat interaksi erat yang mempengaruhi perkembangan. Bahwa perkembangan pada permulaan adalah penting dan mutlak. Landasan untuk perkembangan selanjutnya harus sudah diletakkan pada permulaan-permulaan perkembangan anak agar kelak setelah dewasa tidak mengalami gangguan emosi atai kepribadian pada umumnya.
Freud mengemukakan bahwa kehidupan emosi pada tahun-tahun pertama kehidupan anak harus berlangsung dengan baik agar tidak akan menjadi masalah setelah dewasa.
Metoda belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain adalah :
1.      Belajar dengan coba-coba
Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.
2.      Belajar dengan cara meniru
Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
3.      Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification)
Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
4.      Belajar melalui pengkondisian
Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional, kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka. Setelah melewati masa kanak-kanak, penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.
5.      Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi
Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
Anak memperhalus ekspresi-ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika ia beranjak dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Mendekati berakhirnya usia remaja, seorang anak telah melewati banyak badai emosional yang lebih tenang yang mewarnai pasang surut kehidupannya, ia juga telah belajar dalam seni menyembunyikan perasaan-perasaannya. Jadi, emosi yang ditunjukkan mungkin merupakan selubung bagi yang disembunyikan Kondisi-kondisi kehidupan atau kulturlah yang menyebabkan ia merasa perlu menyembunyikan perasaan-perasaannya.  Kenyataan bahwa para remaja kadang-kadang tidak mengetahui perasaan mereka atau tidak mampu menghayati perasaan mereka.
Daftar Pustaka

Desmita.2009. PsikologiPerkembanganPesertaDidik. Bandung :PT. RemajaRosdakarya
Hurlock, Elizabeth B. 1991. PerkembanganAnak. Jakarta :Erlangga.
PurwakaniaHasan, B. Aliah. 2006. PsikologiPerkembanganIslami. Jakarta : PT. RajagrafindoPersada
Sarwono, Sarlito W. 1982. PengantarUmumPsikolog. Jakarta: BulanBintang.
   http://boharudin.blogspot.com/2011/04/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html