A.
Pengertian Afektif
Afektif
menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah berkenaan dengan rasa takut atau
cinta, mempengaruhi keadaan, perasaan dan emosi, mempunyai gaya atau makna yang
menunjukkan perasaan.
Perbuatan
atau perilaku yang disertai perasaan tertentu disebut warna afektif yang
kadang-kadang kuat, lemah atau tidak jelas. Pengaruh dari warna afektif
tersebut akan berakibat perasaan menjadi lebih mendalam. Perasaan ini di sebut
emosi (Sarlito, 1982:59).
Emosi dan
perasaan adalah dua hal yang berbeda. Emosi dan perasaan merupakan suatu gejala
emosional yang secar kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas
batasnya. Pada suatu saat tertentu warna
afektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai
emosi, contohnya marah yang ditunjukan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali mendefinisikan
emosi. Oleh karena itu, yang dimaksudkan disini bukan terbatas pada emosi atau
perasaan saja, tetapi meliputi setiap keadaan pada diri seseorang yang di
sertai dengan warna, baik pada tingkat yang lemah (dangkal) maupun yang kuat
(mendalam).
Menurut Crow & Crow (1958) pengertian
emosi adalah sebagai berikut :“ An emotion, is an affective experience that
accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological stirredup
states in the individual, and that shows it self in his overt behavior”.
Jadi, emosi
adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu
tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
Dalam
perspektif islam, segala macam emosi dan ekspresinya, diciptakan oleh Allah
melalui ketentuannya. Emosi di ciptakan oleh Allah untuk membentuk manusia yang
lebih sempurna. Dalam Al-Qur’an dinyatakan :
“Dan bahwasanya Dialah yang menjadikan manusia
tertawa dan menangis, Dan
bahwasanya Dialah yang mematikan dan
menghidupkan” (QS AL-Najm [53] : 43-44)
Al-Qur’an
dan hadits banyak membahas tentang ekspresi emosi manusia. Berbagai ekspresi
emosi dasar manusia, mulai dari kesedihan, kemarahan,ketakutan, dan lain-lain
diungkapkan dengan bahasa yang indah dalam firman Allah dan sunnah Rasul
tersebut. Emosi yang lain yang lebih kompleks, seperti malu, sombong, bangga,
iri hati, dengki, penyesalan, dan lain-lain juga terangkaikan dalam berbagai
kalimat. Demikian juga tentang cinta dan benci.
B.
Teori Perkembangan Afektif
Erik H. Erikson berpendapat bahwa perkembangan manusia adalah
sintesis dari tugas-tugas perkembangan dan tugas-tugas sosial. Erikson
mengemukakan teori perkembangan afektif yang terdiri atas 8 tahap :
1. Trust Vs Mistrust /
Kepercayaan dasar (0;0-1;0)
Bayi yang kebutuhannya terpenuhi waktu ia bangun, keresahannya segera terhapus, selalu
dibuai dan diperlakukan sebaik-baknya, diajak main dan bicara, akan tumbuh
perasaannya bahwa dunia ini tempat yang aman dengan orang-orang di sekitarnya
yang selalu bersedia menolong dan dapat dijadkan tempat ia menggantungkan
nasibnya. Jika pemeliharaan bayi itu tidak sebagaimana mestinya maka sebaliknya
akan timbul rasa penolakan dan ketidakpercayaan pada orang sekitarnya. Perasaan
ini akan terus terbawa padatingkatperkembanganselanjutnya.
2. Autonomy Vs Shame
and Doubt/ Otonomi (1;0-3;0)
Dimensi autonomy initimbulnya karena adanya kemampuan motoris dan
mental anak.Pada tahap ini bukan hanya berrjalan, tetapi juga memanjat, menarik
dan mendorong, memegang dan melepaskan dan lain-lainya. Anak sangat bangga
dengan kemampuanya ini dan ia ingin melakukan banyak hal sendiri. Orang tua
sebaiknya menyadari bahwa anak butuh melakukan sendiri hal-hal yang sesuai
dengan kemampuanya menurut langkah dan waktunya sendiri.
Jika orang dewasa yang mengasuh dan membimbing anak tidak sabar
den selalu membantu mengerjakan segala sesuatu yang sesungguhnya dapat
dikerjakan sendiri oleh anak itu, maka akan tumbuh pada anak
itu rasa malu-malu dan ragu-ragu. Orang tua yang terlau melindungi dan selalu
mencela hasil pekerjaan anaknya, berarti telah memupuk rasa malu dan ragu yang
berlebihan pada anak itu. Jika anak anak meninggalkan fase ini, ia akan
mengalami kesulitan untuk memperoleh autonomy pada masa remaja dan masa
dewasanya.
3. Initiatives Vs Guilt
/ Inisiatif (3;0-5;0)
Pada masa ini anak sudah menguasai badan dan geraknya.Pada anak mulai tumbuh “kepribadian” ia mulai mengetahui kemampuannya dan
bisa berkhayal mengenai apa yang akan dilakukan. Ia bisa mengambil inisiatif
untuk tindakan yang yang akan dilakukan.
TetaPI rencana-rencana yangakan dilakukan tidak selamanya berkenan bagi orang dewasa yang
ada disekitarnya dan karena insiatif ini didorong oleh kepercayaan dari
kebebasan yang baru diperolehnya, sedangkan ia ingin menarik kembali rencana
ini maka timbul perasaan bersalah.
4. Industry Vs Inferiority /
Produktivitas (6;0-11;0)
Anak mulai berpikir deduktif, belajar dan bermain menurut
peraturan yang ada.Anak didorong untuk membuat, melakukan dan mengerjakan
dengan benda-benda yang praktis, dan mengerjakanya samapai selesai sehingga
menghasilkan sesuatu.Padausiasekolahdasariniduniaanakbukan hanya lingkungan
rumah saja melainkan mencakup lembaga-lembaga lain yang mempunyai peranan yang
penting dalam perekembangan inividu. Tahap
menunjukkan anak yang berada pada usia sekolah
memperoleh bermacam-macam keterampila dan kemampuan serta mengetahui apa
yang akan dilaakukannya dan bagaimana ia akan melakukan. Maka ia akan memperleh
perasaan gairah. Ia merasa ia mampu
melakukan sesuatu. Tetapi dipihak lain, ia bisa menemui kegagalan dan terlihat
ketidak mampuannya dihadapan orang-orang dewasa, maka akan timbul perasaan
rendah diri.
5.
Identity Vs Role Confusion / Identitas (12;0-18;0)
Pada fase ini anak menuju kematang fisik dan mental.Anak mempunyai
perasaan-perasaan dan keinginan-keinginan baru sebagai akibat perubahan-perubahan
tubuhnya.Ia mulai dapat berpikir tentang pikiran orang lain, ia berpikir pula
apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya. Ia mulai mengerti tentang
keluarga ideal, agama dan masyarakat. Pada masa ini remaja harus dapat
mengintegrasikan apa yang telah dialami dan dipelajarinya tentang dirinya misal
sebagai anak, pelajar, anggota osis dan sebaginya menjadi satu kesatuan
sehingga menunjukan kontinuitas dengan masa lalu dan sikap menghadapi masa
datang.
6.
Intimacy Vs Isolation / Keakraban (19;0-25;0)
Yang dimaksud intimacy oleh Erikson selain hubungan suami istri
adalah juga kemampuan untuk berbagai rasa dan perhatian pada orang lain.Jika
intimacy tidak terdapat diantara sesama teman atau suami istri,menurut Erikson,
akan terdapat apa yang disebut isolation, yakni kesendirian tanpa adanya orang
lain untuk berbagi rasa dan saling memperhatikan.
7.
Generavity Vs Self Absorption / Generasi Berikut (25;0-45;0)
Generavity berarti bahwa orang mulai memikirkan orang-orang lain
di luar keluarganya sendiri, memikirkan generasi
yang akan datang serta hakikat masyarakat dan dunia tempat generasi itu hidup.
Orang yang tidak berhasil mencapai generavity bearti ia berada dalam keadaan
self absorption dengan hanya memutuskan perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan
dan kesenangan pribadi.
8. Integrity Vs Despair /
Integritas (45;0,….)
Pada fase ini usaha-usaha yang pokok pada individu sudah mendekati
kelengkapan, dan merupakan masa-masa untuk menikmati pergaulan
dengan-cucu-cucu.Integrity timbul dari kemapuan individu untuk melihat kembali
kehidupan yang lalu dengan kepuasan.Sedangkan kebalikanya adalah despair, yaitu
keadaan dimana individu yang melihat kembali dan meninjau kembali kehidupanya
masa lalu sebagai rangkaian kegagalan dan kehilangan arah.
C.
Pola Perkembangan Emosi
Kemampuan
untuk bereaksi secara emosional sudah ada pada bayi yang baru lahir. Gejala
pertama perilaku ialah keteransangan umum terhadap stimulasi yang kuat.
Keterangsangan yang berlebih-lebihan ini
tercermin dalam aktivitas yang banyak pada bayi yang baru lahir.
Meskipun demikian pada saat lahir bayi tidak memperlihatkan reaksi yang secara
jelas dapat dinyatakan sebagai keadaan emosional yang spesifik.
Bayi yang baru lahir umumnya sudah dapat menangis, tetapi ia harus mencapai tingkat kematangan
tertentu sebelum ia dapat tertawa. Kalau anak itu sudah lebih besar, maka ia
akan belajar bahwa menangis dan tertawa dapat digunakan untuk maksud-maksud
tertentu pada situasi-situasi tertentu.
Keterangsangan
umum pada bayi yang baru lahir dapat dibedakan menjadi reaksi yang
sederhana yang mengesankan tentang kesenangan dan ketidak
senangan. Reaksi yang tidak menyenangkan dapat diperoleh dengan cara mengubah
posisi bayi secara tiba-tiba, sekonyong-konyong membuat suara keras, merintangi
gerakan bayi, membiarkan bayi tetap mengenakan popok yang basah, dan
menempelkan sesuatu yang dingin pada kulitnya. Rangsangan semacam itu
menyebabkan timbulnya tangisan. Sebaliknya, reaksi yang menyenangkan tampak
jelas tatkala bayi menetek. Reaksi semacam itu juga dapat diperoleh dengan cara
mengayun-ayunkannya, menepuk-nepuknya, memberikannya kehangatan dan
membopongnya dengan mesra. Rasa senang pada bayi dapat terlihat dari relaksasi
yang menyeluruh pada tubuhnya, dan dari suara yang menyenangkan.
Pada usia enam sampai sepuluh minggu, senyum
sosial muncul, diikuti dengan tindakan yang menunjukkan kesenangan lain,
seperti menggumam dan mengunyah. Senyum sosial ini muncul sebagai tanggapan
dari senyum dan interaksi dengan orang dewasa. Siklus ini muncul sebagai pola
timbal balik dimana bayi dan orang lain mendapatkan kesenangan dari interaksi
sosial. Ketika bayi lebih menyadari lingkungannya, senyum muncul sebagai
tanggapan dari berbagi konteks.
Bayi mulai
dapat tertawa pada usia 3 atau 4 bulan, tergantung tingkat perkembangan
kognitif, karena tertawa terjadi ketika terdapat hal-hal diluar kebiasaannya,
seperti dicuim pada perut, permainan petak umpet dan lain-lain. Tertawa juga
meningkatkan perkembangan sosial, karena memancing interaksi sosial timbal
balik.
Ketika bayi lebih besar (7-12 bulan), bayi
mulai mengespresikan takut, jijik dan marah karena kematangan kognitif yang
mereka miliki. Kemarahan sering diekspresikan dengan menangis, ia merupakan
emosi yang paling sering ditunjukkan
bayi. Ekspresi kemarahan memiliki fungsi adaptif, menunjukkan hal yang
tidak disukai bayi, sehingga orang lain mengetahui ada sesuatu yang harus
diubah. Beberapa bayi menunjukkan ekspresi kesedihanpada keadaan yang tidak
menyenangkan , namun kemarahan lebih sering. Ketakutan juga muncul selama tahap
ini jika melihat sesuatu yang tidak mereka ketahui. Wajah takut terhadap orang
dewasa asing dapat muncul pada usia
tujuh bulan, berkaitan dengsan ikatan emosional yang tumbuh antara bayi dan
orang tuanya. Orang tua juga menjadi sumber utama sosialisasi bayi untuk
mengomunikasikan pengalaman emosinya dalam budaya yang spesifik, melalui proses
peniruan dan pengajaran langsung. Selain itu dalam tahap ini, bayi juga mulai
memiliki referensi sosial, bayi mulai mengenal emosi orang lain dan menggunakan
informasinya untuk bereaksi pada situasi dan orang baru.
Dengan
meningkatnya usia anak berarti emosional mereka lebih dapat dibedakan. Sebagai
contoh, anak yang lebih muda memperlihatkan ketidak senangan semata-mata hanya
dengan menjerit dan menangis. Kemudian reaksi mereka semakin bertambah yang
meliputi perlawanan, melemparkan benda, mengejangkan tubuh, lari menghindar,
bersembunyi, dan mengeluarkan kata-kata. Dengan bertambahnya umur, maka reaksi
yang berwujud bahasa meningkat, sedangkan reaksi gerakan otot berkurang.
Pada usia 1-2
tahun, bayi mulai menunjukkan emosi yang lebih kompleks seperti malu-malu. Pada
tahap ini bayi mulai belajar bahasa, yang memungkinkannya memahami alasan suatu
emosi, serta mengekspresikan perasaannya secara verbal. Makin besar anak itu,
makin besar pula kemampuannya untuk belajar sehingga perkembangan emosi makin
rumit. Perkembangan emosi melalui proses pematangan hanya terjadi sampai usia
satu tahun. Setelah itu perkembangan selanjutnya lebih banyak ditentukan oleh
proses belajar.
Bayi berumur 20
bulan dapat memahami berbagai emosi dan keadaan fisiologinya, seperti
kelelahan, tidur, sakit, tertekan, jijik, dan kasih sayang. Kemampuan ini
merupakan langkah pertama anak dalam tahap perkembangannya untuk memiliki pengaturan
diri emosional. Anak-anak membutuhkan orang tua untuk mempelajari ini, misalnya
bercakap-cakap dengan orang tuanya mengenai emosinya. Kemampuan empatik juga
mulai muncul pada anak berusia 2 tahun. Perkembangan empati membutuhkan
keterampilan anak untuk membaca isyarat emosional oran lain, memahami bahwa
orang lain berbeda dari dirinya, dan mencoba memahami posisi dan perspektif orang
lain. Anak akan menggunakan bahasa yang menyenangkan dan kontak fisik dengan
ibunya, jika mereka merasa tidak nyaman, meniru apa yang telah mereka dapatkan
ketika mereka dalam keadaan bingung.
Pada usia pra sekolah ( 3-6 tahun) kapasitas
anak untuk mengatur emosinya meningkat. Orang tua membantu anak pada usia ini
untuk menghadapi emosi negatif dengan mengajarkan, mencontohkan dengan
menggunakan penalaran dan penjelasan verbal. Anak yang mengalami kesulitan
untuk mempelajari ketrampilan seringkali menunjukkan perilaku yang berlebihan
atau sebaliknya menarik diri ketika berhadapan dengan situasi yang mengundang
rasa takut dan cemas.
Pada usia 3 tahun anak masih memiliki kemampuan terbatas
untuk menyembunyikan emosi yang dimilikinya untuk memenuhi aturan penampilan
emosi yang dapat diterima oleh kebudayaan setempat. Misalnya seorang anak yang
berbohong tentang mainan yang dirusaknya pada usia ini, masih memperlihatkan
rasa tidak sukanya pada mainan tersebut. Namun, mereka cukup dapat
menyembunyikan informasi yang sesungguhnya yang ingin diketahui orang lain.
Mulai usia 4
tahun, anak mulai mengusai kemampuan untuk meningkatkan ekspresi emosinya, yang
disesuaikan dengan yang ada. Keterampilan ini disebut aturan tampilan emosi,
aturan khusus sesuai budaya setempat yang menunjukkan kesesuaian mengekspresikan
emosi pada situasi tertentu. Dengan demikian, ekspresi emosi eksternal tidak
harus sesuai dengan keadaan emosi internal seseorang. Anak pada usia sekitar 3
tahun juga belajar bahwa kemarahan dan agresivitas harus dikontrol didepan orang
dewasa, sedang dengan teman sebayanya anak tidak terlalu menekan perilaku emosi
negatif. Perbedaan ini muncul karena konsekuensi yang mereka terima berbeda.
Mulai umur 4 atau 5 tahun,anak juga mengembangkan pengertian yang lebih dalam
terhadap emosi orang lain, sejalan dengan meningkatnya kemampuan kognitif yang
mereka miliki. Melalui pengalaman yang berulang-ulang, anak mengembangkan
konsep sebab akibat dari emosi. Anak pada usia ini juga mulai membuat prediksi
tentang pengalaman ekspresi mereka.
Dengan
pertambahan usia, anak prasekolah menjadi lebih baik untuk mengeluarkan emosi
yang berbeda dengan emosi yang dimilikinya, namun masih berbeda dengan jika
mereka mengeluarkan emosi mereka yang sebenarnya. Pada usia sekolah anak
menjadi lebih mampu menyesuaikan dirinya dengan tuntutan tampilan emosi dari
lingkungannya. Anak perempuan lebih didorong untuk memahami aturan ini,
sehingga mereka lebih manis dari segi tata krama.
Anak berusia
7-12 tahun menunjukkan ketrampilan regulasi diri dengan variasi yang lebih
luas. Kecanggihan dalam memahami dan menunjukkan tampilan emosi yang sesuai
dengan aturan sosial meningkat pada tahap ini. Anak mulai mengetahui kapan
harus mengontrol ekspresi emosi bagaimana juga mereka menguasai keterampilan
regulasi perilaku yang memungkinkan mereka menyembunyikan emosinya dengan cara sesuai
aturan sosial. Anak lebih sensitif terhadap isyarat lingkungan sosial yang
mengatur keputusan dalam mengontrol emosi negatif. Anak juga sudah membentuk
serangkaian harapan tentang hasil dari ekspresi emosinya kepada orang lain.
Secara umum, anak juga lebih banyak mengatur kemarahan dan kesedihannya kepada
teman-temanya dari pada orang tuanya. Dengan bertambahnya usia, mereka lebih
banyak mengeluarkan emosi negatifnya kepada orang tuanya. Anak pada usia ini
juga mendemonstrasikan ketrampilan kognitif dan perilaku untuk mengatasi
emosinya, seperti rasionalisasi atas kejadian yang tidak mereka sukai. Selama
masa kanak-kanak pertengahan, anak mulai memahami keadaan emosi orang lain
tidak sesederhana yang mereka pikirkan, dan seringkali merupakan hasil dari
penyebab yang rumit dan terkadang tidak jelas. Mereka juga mulai memahami bahwa
seseorang mungkin merasakan lebih dari satu emosi pada satu waktu, walaupun
kemampuan ini terbatas dan berkembang perlahan. Tampilan empati juga lebih
sering pada tahap ini. Anak dengan keluarga yang sering mendiskusikan kompleksitas
emosi lebih siap mengahadapi hal ini dari pada keluarga yang biasa
menghindarinya.
Remaja (
12-18 tahun )mulai menjadi lebih canggih
dalam mengatur emosi mereka. Mereka memiliki perbendarahaan untuk
mendiskusikan, dan memengaruhi keadaan emosi diri mereka sendiri dan orang
lain. Remaja lebih dapat menerjemahkan situasi sosial sebagai bagian dari
proses tampilan emosi. Remaja mengembangkan skema tentang berbagai variasi orang
tertentu dalam menunjukkan emosinya, dan mengatur tampilan emosi mereka
berdasarkan skema tersebut. Pada awalnya remaja mulai mencoba melepas ikatan
emosional mereka dengan orang tua dan lebih banyak mengembangkan persahabatan
dengan teman sebayanya. Remaja, terutama laki-laki, lebih banyak menyembunyikan
emosi mereka kepada orang tuanya dibandingkan anak yang lebih muda, karena
mereka mengharapkan untuk tidak terlalu banyak mendapatkan dukungan emosional
dari orang tuanya. Remaja menjadi sangat memperhatikan dampak ekspresi emosi
dalam interaksi sosial mereka dan berusahaa untuk mendapatkan persetujuan teman
sebaya. Jenis kelamin memainkan peran penting dalam menunjukkan tampilan emosi,
laki-laki lebih berusaha menyembunyikan rasa takut dibandingkan perempuan.
Mereka yang memasuki usia dewasa muda ( 18-30
tahun ) memiliki kebutuhan untuk merasakan keintiman dan melakukan hubungan
sekssual. Mereka berusaha menghindari perasaan terasing, yang sebagai hasilnya
mereka berjuang untuk mendapatkan cinta dan penghargaan. Mereka belajar bahwa
cinta dan penghargaan dapat membuat mereka mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Pada usia ini mereka belajar untuk mandiri dari segi penghasilan dan
lebih bertanggung jawab terhadap tugas-tugas orang dewasa. Mereka berusaha
untuk mandiri, termasuk dari orang tuanya. Mereka meninggalkan masa remaja yang
dianggap naif dan menjadi lebih matang
dari segi emosi. Sebagi orang dewasa mereka belajar nilai-nilai yang baik yang
terlihat maupun yang abstrak. Hubungan mereka dengan orang tua dan orang dewasa
lain berubah. Pada masa ini dapat terjadi sesuatu yang disebut krisis
seperempat usia. Karakteristik krisis pada masa ini adalah kebingungan
identitas, ketidak amanan terhadap masa depan, ketidak amanan prestasi saat
ini, evaluasi kembali terhadap hubungan intim, kekecewaan terhadap pekerjaan,
nostalgia masa sekolah, kecendrungan untuk memegang pendapat, kebosanan
terhadap interaksi sosial, stress terhadap kempuan finansial dan kesepian. Hal
ini terjadi setelah mereka lulus pendidikan dan harus mengahadapi dunia nyata.
Setelah kegembiraan memasuki usia dewasa dan segala tanggung jawabnya, individu mengalami stagnasi karier
dan rasa tidak aman yang ekstrem. Banyak diantara mereka yang mengalami
emosi “ abu-abu ”. Interaksi emosial
yang intensif pada masa remaja, pada masa ini menjadi lebih halus dan lebih
pribadi.
Setelah mencapai awal 30-an, mereka umumnya
menjadi lebih tenang. Mereka yang telah berhasil mengatasi krisis sebelumnya,
telah memiliki investasi keuangan dan emosi untuk hidup mereka. Mereka lebih
menfokuskan diri untuk meningkatkan karier dan mestabilkan kehidupan peribadi
mereka. Umumnya mereka telah membentuk keluarga. Mereka diharapkan telah
memiliki kematangan emosi dengan karakteristik yang sangat mengontrol emosi
yang lebih baik, kepribadian lebih stabil, kemampuan mengatur diri yang lebih
baik, lebih serius dalam menghadapi masalah yang sulit, lebih bertanggung
jawab, memiliki komitmen dan lebih dipercayai, dapat berpikir lebih panjang, memiliki
kesabaran yang lebih baik, kemampuan untuk bertahan pada situasi yang lebih
sulit, lebih dapat memahami sesuatu, lebih realistik dan objektif.
Memasuki usia 40-an tahun, mereka dapat
mengalami krisis usia pertengahan. Pada usia ini mereka telah melewati
masa-masa dimana mereka berusaha untuk meraih prestasi hidup. Mereka mulai
mengalami keadaan emosi di mana mereka merasakan keraguan dan kecemasan
terhadap kenyataan bahwa kehidupan mereka telah dilewati setengahnya. Individu
melakukan refleksi terhadap kehidupa mereka, dan sering kali merasakan banyak
hal yang belumm dapat terpenuhi. Individu yang merasakan hal itu dapat mengalami kebosanan dengan kehidupan,
pekerjaan, dan pasangan hidup mereka, sehingga mereka memiliki keinginan untuk
mengubah area tersebut. Kondisi ini juga disebut sebagai awal dari proses
individuasi, proses aktualisasi diri yang terus berlangsung sampai kematian.
Kondisi ini lebih banyak memengaruhi laki-laki dari pada perempuan. Beberapa
orang merasa tertantang untuk menunjukkan usia ini bukan sesuatu menyedihkan,
dengan sikap yang sehat dan perencanaan yang baik, usia pertengahan dapat
menjadi tahun-tahun terbaik bagi seseorang.
Memasuki usia lanjut mereka mulai mengalami
penurunan kondisi fisik, sehingga banyak memulai mengakhiri karier pekerjaan
mereka. Mereka mulai lebih banyak memiliki waktu untuk melakukan evaluasi diri.
Dalam hal ini, mereka dapat mengalami sindroma pascakekuasaan. Hilangnya
kekuasaan secara tiba-tiba, dan kemunduran fisik dapat menjadi sumber frustrasi
pada usia ini. Namun, melalui evaluasi diri, mereka dapat memperoleh
kebijaksanaan tentang makna dan proses kehidupan. Mereka yang dapat menerima
dirinya akan mencapai integritas kepribadian mereka lebih dapat menghargai
keterbatasan dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, jika mereka merasa gagal dalam
kehidupan periode sebelumnya, mereka dapat merasakan perasaan tidak berharga
dan putus asa.
D.
Karakteristik Emosi Anak
Ciri
khas emosi anak membuatnya berbeda dari emosi orang dewasa. Ciri khas nya dijelaskan
sebagai berikut.
1.
Rasa Takut
Rangsangan yang
umum menimbulkan rasa takut pada masa bayi ialah suara yang keras, binatang,
kamar yang gelap, tempat yang tinggi, berada seorang diri, rasa sakit, orang
yang tidak dikenal, tempat dan obyek
yang tidak dikenal. Anak-anak lebih takut kepada benda-benda di bandingkan
dengan bayi atau anak yang lebih tua. Usia anatara 2 sampai 6 tahun merupakan
masa puncak bagi rasa takut yang khas di dalam pola perkembangan yang normal. Alasannya karena anak kecil lebih
mampu mengenal bahaya dibandingkan dengan bayi, tetapi kurangnya pengalaman
menyebabkan mereka kurang mampu mengenal apakah sesuatu bahaya merupakan
ancaman atau tidak.
Di kalangan
anak-anak yang lebih tua, rasa takut terpusat pada bahaya yang fantastis dan
samar-samar, pada gelap dan makhluk imajinatif yang diasosiasikan dengan gelap,
pada kematian atau luka, pada berbagai elemen terutama guntur dan kilat, serta
pada karakter dalam dongeng, film, buku, komik televisi.
Terlepas dari
usia anak, ciri khas yang penting pada semua rangsangan takut ialah bahwa hal
itu terjadi secara mendadak dan tidak di duga-duga dan anak hanya mempunyai
kesempatan yang kecil sekali untuk menyesuaikan diri dengan situasi tersebut.
Rasa takut kepada orang yang tidak dikenal pada bayi sebagian disebabkan karena
terbiasa melihat wajah yang sudah dikenal dan karena tidak mampu menyesuaikan
diri dengan cepat pada kemunculan orang yang tidak dikenal tersebut.
2.
Rasa Malu
Rasa malu
merupakan bentuk ketakutan yang ditandai oleh penarikan diri dari hubungan
dengan orang lain yang tidak dikenal atau tidak sering berjumpa. Study terhadap
bayi telah menunjukkan bahwa selama pertengahan tahun pertama kehidupan rasa
malu merupakan reaksi yang hampir universal terhadap orang yang tidak dikenal
atau orang yang sudah dikenal tetapi memakai baju atau rambut yang tidak
seperti biasanya. Alasan bagi adanya rasa malu ini adalah bahwa pada umur 6
bulan bayi secara intelektual cukup matang untuk mengenal perbedaan antara
orang yang dikenal dengan orang yang
tidak dikenal, tetapi belum cukup matang untuk mengetahui bahwa orang yang
dikenal itu tidak bersikap mengancam. Setelah bayi berhubungan dengan orang
yang semakin banyak, mereka mulai mengetahui bahwa orang yang tidak dikenal
sering kali merupakan teman bermain yang menyenangkan. Meskipun demikian jika
rasa malu itu sangat kuat dan sering terjadi, hal itu dapat menimbulkan sifat
pemalu yang mempengaruhi hubungan sosial anak setelah masa bayi berlalu. Mereka
kemudian menjadi anak pemalu. Pada bayi, reaksi yang umum terhadap rasa malu
iyalah menangis, memalingkan muka dari orang yang tidak dikenal, bergayut pada
orang yang sudah akrab untuk berlindung.
Anak-anak yang
lebih tua menunjukkan rasa malu dengan muka memerah, dengan menggagap, dengan
berbicara sesedikit mungkin, dengan tingkah yang gugup seperti menarik-narik
telinga atau baju, dengan menolehkan wajah ke arah lain dan kemudian
mengangkatnya dengan tersipu-sipu untuk menatap orang yang tidak dikenal itu.
3.
Rasa Khawatir
Rasa khawatir
biasanya dijelaskan sebagai khayalan ketakutan atau gelisah tanpa alasan. Tidak
seperti ketakutan yang nyata, rasa khawatir tidak langsung ditimbulkan oleh
rangsangan dalam lingkungan tetapi merupakan produk fikiran anak itu sendiri.
Rasa khawatir timbul karena membayangkan situasi berbahaya yang mungkin akan
meningkat. Kekhawatiran adalah normal pada masa kanak-kanak, bahkan pada
anak-anak yang penyesuaianya baik sekalipun.
Cara anak
mengekspresikan kekhawatiran bergantung pada pola kepribadian masing-masing.
Anak yang merasa rendah diri yang tidak mampu cenderung memendam kekhawatiran
mereka, memikirkannya sendiri, dan terlalu melebih-lebihkan kekurangannya.
Sebaliknya, anak-anak yang lebi baik penyesuaiannya cenderung membicaraka kekhawatiran
mereka dengan orang yang dianggap simpatik.
4.
Rasa Marah
Rasa marah adalah
ekspresi yang lebih sering diungkapkan pada masa kanak-kanak jika dibandingkan
dengan rasa takut. Alasannya ialah karena rangsangan yang menimbulkan rasa
marah lebih banyak, dan pada usia yang dini anak-anak mengetahui bahwa
kemarahan merupakan cara yang efektif untuk memperoleh perhatian atau memenuhi
keinginan mereka.
Umumnya situasi
yang menimbulkan kemarahan meliputi berbagai macam batasan, rintangan terhadap
gerak yang diinginkan anak, baik rintangan itu berasal dari orang lain maupun
ketidak mampuan diri sendiri, rintangan terhadap aktifitas yang sudah mulai
berjalan dan rintangan terhadap keinginan, rencana, serta niat yang ingin
dilakukan anak. Bayi bereaksi dengan ledakan marah terhadap ketidak enakan
fisik yang ringan, rintangan terhadap aktifitas fisik dan pembebanan paksaan
dalam hal perawatan, misalnya, pada saat mandi dan dikenakan pakaian. Ketidak
mampuan untuk membuat diri mereka dimengerti melalui ocehan atau usaha
berbicara yang belum saatnya juga menyebabkan mereka jengkel. Disamping itu,
mereka menjadi marah jika orang tidak memberikan perhatian sebanyak yang ia
inginkan atau jika milik mereka diambil.
5.
Rasa Cemburu
Rasa cemburu adalah reaksi normal
terhadap kehilangan kasih sayang yang nyata, dibayangkan, atau ancaman
kehilangan kasih sayang. Rasa cemburu timbul dari kemarahan yang menimbulkan
sikap jengkel dan ditujukan kepada orang lain. Pola rasa cemburu seringkali
berasal dari rasa takut yang dikombinasikan dengan rasa marah. Orang yang
cemburu merasa tidak tentram dalam hubungannya dengan orang yang dicintai dan
takut kehilangan status dalam hubungan kasih sayang itu. Situasi yang
menimbulkan rasa cemburu selalu merupakan situasi sosial. Ada tiga sumber utama
yang menimbulkan rasa cemburu, dan kadar penting masing-masing sumber
bervariasi menurut tingkat umur.
Pertama, rasa cemburu pada masa kanak-kanak umumnya
ditumbuhkan di rumah: artinya timbul dari kondisi yang ada di lingkungan rumah.
Karena bayi yang baru lahir meminta banyak waktu dan perhatian ibu maka anak
yang lebih tua menjadi terbiasa menerima rasa diabaikan. Kemudian ia merasa
sakit hati terhadap adik yang baru dan ibunya.
Kedua, situasi sosial juga di sekolah juga merupakan
sumber belbagai kecemburuan bagi anak-anak yang berusia lebih tua. Kecemburuan
yang berasal dari rumah sering dibawa ke sekolah dan mengakibatkan anak-anak
memandang setiap orang disana, yaitu para guru dan teman sekelas , sebagai ancaman bagi keamanan mereka. Untuk
melindungi keadaan mereka, anak-anak
kemudian mengembangkan sikap kepemilikan terhadap guru atau teman sekelas yang
mereka pilih sebagai teman, dan marah apabila orang yang dianggap sebagai
miliknya itu memperlihatkan perhatian kepada orang lain. Rasa cemburu secara
normal hilang apabila anak-anak berhasil melakukan penyesuaian yang baik di
sekolah, tetapi dapat berkobar kembali apabila guru memperbandingkan seorang
anak dengan teman sekelasnya atau kakaknya.
Ketiga, dalam situasi dimana anak merasa
ditelantarkan dalam hal pemilikan benda-benda seperti dimiliki anak lain
membuat mereka cemburu kepada anak itu. Jenis kecemburuan ini berasal dari rasa
iri, yaitu keadaan marah dan kekesalan hati yang ditunjukkan kepada orang yang
memiliki benda yang diirikan. Dengan demikian rasa iri adalah bentuk ketamakan.
6.
Dukacita
Dukacita adalah trauma psikis, suatu
kesengsaraan emosional yang disebabkan oleh hilangnya sesuatu yang dicintai.
Dalam bentuk yang lebih ringan keadaan ini dikenal sebagai kesusahan atau
kesedihan. Terlepas dari intensitas dan umur tatkala hal tersebut dialami,
dukacita adalah salahsatu dari emosi yang paling tidak menyenangkan.
Bagi anak-anak umumnya, dukacita bukan
emosi yang sangat umum. Ada tiga alasan mengenai hal ini. Pertama, para orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya berusaha
mengamankan anak tersebut dari berbagai aspek dukacita yang menyakitkan karena
hal itu dianggap dapat merusak kebahagiaan masa kanak-kanak dan dapat menjadi
dasar bagi masa dewasa yang tidak bahagia. Kedua,
anak-anak, terutama apabila mereka masih kecil, mempunyai ingatan yang
tidak bertahan terlalu lama, sehingga mereka dapat dibantu melupakan dukacita
apabila perhatian mereka dialihkan kesesuatu yang menyenangkan. Ketiga, tersedianya pengganti untuk
sesuatu yang telah hilang itu, mungkin mainan yang dicintai atau ayah atau ibu
yang dicintai, seringkali dapat memalingkan mereka dari kesedihan kepada
kebahagiaan.
7.
Keingintahuan
Maw and Maw menerangkan tentang anak
yang penuh keingintahuan dengan cara berikut:[anak] (a) bereaksi secara positif
terhadap unsur-unsur yang baru, aneh, tidak layak, atau misterius dalam
lingkungannya dengan bergerak ke arah benda tersebut, memeriksanya, atau
mempermain-mainkannya; (b) memperlihatkan kebutuhan atau keinginan untuk lebih
banyak mengetahui tentang dirinya sendiri dan/ atau lingkungannya; (c)
mengamati lingkungannya untuk mencari pengalaman baru; dan /atau (d) bertekun
dalam memeriksa dan/atau menyelidiki rangsangan dengan maksud untuk lebih
banyak mengetahui seluk-beluk unsur-unsur tersebut.
Rangsangan yang menimbulkan
keingintahuan anak-anak sangat banyak. Anak-anak menaruh minat terhadap segala
sesuatu di lingkungan mereka, termasuk diri sendiri. Mereka ingin mengetahui
tubuh mereka, bermacam-macam bagian tubuh, apa yang dilakukan oleh setiap
bagian tubuh, mengapa mereka mempunyai bentuk tubuh sebagaimana yang mereka
punyai. Mereka juga ingin mengetahui apa yang ada di dalam tubuh mereka
seperti: dimana letak perut, jantung, paru-paru, dan sebagainya dan apa fungsi
masing-masing.
Bayi mengekspresikan keingintahuan
dengan menegangkan otot muka, membuka mulut, menjulurkan lidah, dan mengerutkan
dahi. Ini merupakan keadaan kewaspadaanyang sama dengan keadaan takut. Tatkala
bayi menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang perlu ditakuti, mereka mencoba
memeriksa dengan memegang dan menggoyangkan segala sesuatu yang ada dalam
jangkauan mereka.
8.
Kegembiraan, Keriangan, Kesenangan
Kegembiraan adalah emosi yang
menyenangkan, yang juga dikenal dengan keriangan, kesenangan, atau kebahagiaan.
Setiap anak berbeda-beda intensitas kegembiraan dan jumlah kegembiraannya serta
cara mengekspresikannya sampai batas-batas tertentu dapat diramalkan. Sebagai
contoh, ada kecenderungan umur yang dapat diramalkan, yaitu anak-anak yang
lebih muda merasa gembira dalam bentuk yang lebih menyolok daripada anak-anak
yang lebih tua.
Dikalangan bayi, emosi kegembiraan,
keriangan, dan kebahagiaan berasal dari keadaan fisikyang sehat. Emosi yang
menyenangkan juga berkaitan dengan aktivitas bayi seperti mendekut, mengoceh, merangkak,
berdiri, berjalan, dan berdiri.Pada anak yang lebih tua, rangsangan - rangsangan
yang menimbulkan emosi yang menyenangkan pada umur yang lebih muda masih tetap
memberikan kesenangan. Keadaan fisik yang sehat, situasi yang ganjil, permainan
kata-kata, malapetaka yang ringan, dan suara yang datangnyatiba-tiba atau tidak
diduga tetap mampu menimbulkan senyum dan tawa mereka. Mungkin sebab yang
paling umum dari kegembiraan dan keriangan pada anak-anak yang lebih tua adalah
keberhasilan mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan untuk diri mereka
sendiri. Semakin keras mereka harus berusaha untuk mencapai tujuan, semakin
besar kegembiraan mereka akhirnya mereka berhasil.
Dengan meningkatnya usia, anak-anak
belajar mengekspresikan kegembiraan mereka dalam pola yang diterima secara
sosial oleh kelompok tempat mereka mempersamakan diri. Mereka belajar bahwa
merasa puas atas kesusahan orang lain yang telah mereka kalahkan adalah
perilaku yang tidak jantan. Oleh karena itu, mereka belajar untuk tidak
memperlihatkan kegembiraan mereka walaupun dalam hati penuh dengan
kesukacitaan.
Emosi kegembiraan selalu disertai
dengan senyuman dan tawa dan suatu relaksasi tubuh sepenuhnya. Hal ini sangat
bertentangan dengan ketegangan yang terjadi pada emosi yang tidak menyenangkan.
Anak kecil juga mengekspresikan kebahagiaan mereka dengan aktivitas otot.
Mereka melompat-lompat, berguling-guling di lantai, bersorak dengan riang,
bertepuk tangan, memeluk orang, binatang, atau obyek yang menimbulkan
kegembiraan mereka, dan tertawa dengan hingar-bingar.
9.
Kasih Sayang
Kasih sayang adalah reaksi emosional
terhadap seseorang, binatang atau benda. Hal itu menunjukkan perhatian yang
hangat, dan mungkin terwujud dalam bentuk fisik atau kata-kata. Faktor belajar
memainkan peran penting untuk menentukan kepada siapa kasih sayang itu
ditujukan pada orang atau obyek yang khusus. Anak-anak cenderung paling suka
kepada orang yang menyukai mereka dan anak-anak bersikap “ramah-tamah” terhadap
orang itu. Kasih sayang mereka terutama ditujukan kepada manusia. Obyek kasih
sayang yang berupa binatang atau benda kadang-kadang merupakan pengganti bagi
obyek kasih sayang kepada manusia. Agarmenjadi emosi yang menyenangkan dan
dapat menunjang penyesuaian yang baik, kasih sayang harus berbalas. Harus ada
tali penyambung antara anak-anak dengan orang-orang yang berarti dalam
kehidupan mereka. Bossard dan Boll memberi nama pada hubungan yang timbal balik
ini sebagai “kompleks empati”.
Gorrison menekankan keseimbangan dalam
hubungan tersebut:cinta tampak merupakan hal yang timbal balik dan tumbuh
terbaik apabila sekaligus diberikan dan juga diterima. Penolakan yang terus
menerus di rumah mungkin menyebabkan kemampuan anak untuk memberikan kasih
sayang tidak berkembang, atau mungkin menyebabkan dia mencari kasih sayang dari
orang lain di luar rumah. KasIh sayang yang berlebihan dan pemanjaan dapat
menimbulkan pengaruh yang tidak diinginkan sebagaimana penolakan atau
kekurangan kasih sayang. Oleh karena itu, ada bahaya bahwa kasih sayang
berlebih-lebihan terhadap satu atau kedua orang tua akan cenderung meniadakan
kasih sayang terhadap teman sebaya.
E.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
PerkembanganEmosi
Perkembangan
emosi anak bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock,
1960;266). Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak
berarti tidak ada, reaksi tersebut mungkin akan muncul dikemudian hari, dengan
berfungsinya sistem endokrin. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama
lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi.
Kematangan adalah
proses intrinsik yang terjadi dengan sendirinya sesuai dengan potensi yang ada.
Antara kematangan dan latihan atau proses belajar terdapat interaksi erat yang
mempengaruhi perkembangan. Bahwa perkembangan pada permulaan adalah penting dan
mutlak. Landasan untuk perkembangan selanjutnya harus sudah diletakkan pada
permulaan-permulaan perkembangan anak agar kelak setelah dewasa tidak mengalami
gangguan emosi atai kepribadian pada umumnya.
Freud
mengemukakan bahwa kehidupan emosi pada tahun-tahun pertama kehidupan anak
harus berlangsung dengan baik agar tidak akan menjadi masalah setelah dewasa.
Metoda belajar
yang menunjang perkembangan emosi antara lain adalah :
1. Belajar dengan coba-coba
Anak belajar
secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang
memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak perilaku yang memberikan
pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan.
2. Belajar dengan cara meniru
Dengan cara
mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi
dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
3. Belajar dengan cara mempersamakan diri
(learning by identification)
Anak menirukan reaksi
emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang telah membangkitkan
emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan
mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
4. Belajar melalui pengkondisian
Dengan
metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional,
kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi dengan
mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu
menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang
mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka. Setelah melewati masa
kanak-kanak, penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan
rasa suka dan tidak suka.
5. Pelatihan atau belajar di bawah
bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi
Kepada anak
diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi terangsang.
Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang
biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi
secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak
menyenangkan.
Anak memperhalus
ekspresi-ekspresi kemarahannya atau emosi lain ketika ia beranjak dari masa
kanak-kanak ke masa remaja. Mendekati berakhirnya usia remaja, seorang anak
telah melewati banyak badai emosional yang lebih tenang yang mewarnai pasang
surut kehidupannya, ia juga telah belajar dalam seni menyembunyikan perasaan-perasaannya.
Jadi, emosi yang ditunjukkan mungkin merupakan selubung bagi yang disembunyikan
Kondisi-kondisi kehidupan atau kulturlah yang menyebabkan ia merasa perlu
menyembunyikan perasaan-perasaannya. Kenyataan bahwa para remaja
kadang-kadang tidak mengetahui perasaan mereka atau tidak mampu menghayati
perasaan mereka.
Daftar Pustaka
Desmita.2009. PsikologiPerkembanganPesertaDidik. Bandung :PT. RemajaRosdakarya
Hurlock,
Elizabeth B. 1991. PerkembanganAnak. Jakarta :Erlangga.
PurwakaniaHasan,
B. Aliah. 2006. PsikologiPerkembanganIslami.
Jakarta : PT. RajagrafindoPersada
Sarwono,
Sarlito W. 1982. PengantarUmumPsikolog.
Jakarta: BulanBintang.
http://boharudin.blogspot.com/2011/04/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html
No comments:
Post a Comment